Perkembangan teknologi digital dalam beberapa tahun terakhir telah membawa perubahan besar pada berbagai aspek kehidupan, termasuk sektor keuangan. Di tengah dinamika ini, keuangan syariah telah menghadapi tantangan dan peluang baru. Era digital menawarkan inovasi yang dapat mempercepat inklusi keuangan, meningkatkan efisiensi, dan memperluas akses ke layanan keuangan syariah.
Namun, keuangan syariah juga harus bersaing dengan industri keuangan konvensional yang terus berinovasi. Untuk memaksimalkan potensi keuangan syariah di era digital, perlu ada strategi yang matang, regulasi yang tepat, dan peningkatan literasi keuangan di kalangan masyarakat.
Keuangan syariah merupakan sistem keuangan yang berdasarkan pada prinsip-prinsip hukum Islam atau syariah. Prinsip utama dalam keuangan syariah adalah larangan riba (bunga), gharar (ketidakpastian), dan maysir (spekulasi). Selain itu, keuangan syariah juga menekankan pada transaksi yang adil, transparan, serta mendorong distribusi kekayaan yang lebih merata.
Dalam konteks global, keuangan syariah telah tumbuh menjadi sektor penting dengan aset yang mencapai USD 3,5 triliun pada tahun 2021, menurut laporan Islamic Financial Services Industry Stability Report 2022. Indonesia, sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, memiliki potensi besar untuk menjadi pusat keuangan syariah global. Namun, untuk mewujudkan potensi ini, Indonesia harus mampu memanfaatkan perkembangan teknologi digital dalam mengembangkan industri keuangan syariahnya.
Digitalisasi Keuangan Syariah: Tantangan dan Peluang
Digitalisasi keuangan syariah membawa banyak peluang baru, namun juga menghadirkan sejumlah tantangan. Salah satu peluang utama adalah peningkatan inklusi keuangan. Data dari World Bank pada tahun 2021 menunjukkan bahwa lebih dari 1,7 miliar orang di seluruh dunia masih belum memiliki akses ke layanan keuangan formal. Di Indonesia sendiri, berdasarkan survei nasional literasi dan inklusi keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2019, tingkat inklusi keuangan mencapai 76,19%, namun tingkat inklusi keuangan syariah masih relatif rendah, yakni hanya sekitar 9,1%. Dalam hal ini, digitalisasi dapat memainkan peran penting dalam membuka akses ke layanan keuangan syariah bagi mereka yang belum terjangkau oleh layanan perbankan konvensional.
Teknologi digital seperti mobile banking, fintech, blockchain, dan artificial intelligence (AI) dapat meningkatkan efisiensi operasional lembaga keuangan syariah dan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat. Salah satu contohnya adalah perkembangan peer-to-peer (P2P) lending syariah, yang memungkinkan individu atau usaha kecil mendapatkan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah tanpa harus melalui lembaga perbankan tradisional. Platform seperti Ammana, Ethis Indonesia, dan Investree Syariah adalah contoh sukses dari P2P lending syariah di Indonesia yang telah membantu ribuan usaha kecil dan menengah untuk mendapatkan pembiayaan sesuai dengan prinsip syariah.
Selain itu, digitalisasi juga membuka peluang untuk inovasi produk keuangan syariah. Misalnya, teknologi smart contract berbasis blockchain dapat digunakan untuk memfasilitasi transaksi yang lebih transparan dan efisien dalam pembiayaan berbasis syariah, seperti murabahah (jual beli), ijarah (sewa), atau musyarakah (kemitraan). Dengan menggunakan smart contract, kedua belah pihak dapat melakukan transaksi tanpa perlu perantara, yang tidak hanya mengurangi biaya transaksi tetapi juga mengurangi risiko manipulasi atau penipuan.
Namun, di balik berbagai peluang tersebut, terdapat sejumlah tantangan yang harus dihadapi dalam digitalisasi keuangan syariah. Salah satunya adalah masalah regulasi. Di Indonesia, regulasi untuk industri fintech syariah masih dalam tahap perkembangan. Meskipun OJK telah mengeluarkan sejumlah aturan terkait fintech dan keuangan syariah, namun pengawasan terhadap implementasi prinsip-prinsip syariah dalam produk-produk fintech syariah masih membutuhkan penguatan. Selain itu, keberadaan Dewan Pengawas Syariah (DPS) di setiap lembaga keuangan syariah, termasuk fintech, menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa produk dan layanan yang ditawarkan benar-benar sesuai dengan hukum Islam.
Literasi Keuangan Syariah di Era Digital
Salah satu aspek penting yang tidak bisa diabaikan dalam pengembangan keuangan syariah di era digital adalah literasi keuangan. Literasi keuangan syariah di Indonesia masih relatif rendah, terutama di kalangan masyarakat yang berada di daerah-daerah terpencil. Data dari survei OJK menunjukkan bahwa tingkat literasi keuangan syariah pada tahun 2019 hanya mencapai 8,93%. Rendahnya literasi ini menjadi tantangan besar dalam upaya memperluas akses ke layanan keuangan syariah digital.