"Apakah cinta itu ada?"
"Jika iya kapan dan di mana aku bisa bertemu dengannya?"
Apakah cinta itu hanya sebatas memiliki? Jika iya mengapa tidak sepenuhnya? Apa esensi darinya memang hanya suatu yang sementara?
Begitu banyak hal yang simpang siur dan saling tumpang-tindih di kepalaku dalam bentuk tanda tanya akan segala maklumat tentangnya. Ada satu hal yang masih terlalu naif untuk kuakui bahwa setiap kali menjalin hubungan selalu berakhir tidak cara yang paling tidak mengenakkan. Padahal bukankah cinta itu ada untuk membahagiakan? Aku terlampau sering dihujani pertanyaan terhadap pikiran dan perasaan diri sendiri. Apakah aku memiliki cinta? kepada siapa kuharus membaginya?
Kadang kehampaan terasa begitu melekat, bahkan lebih rekat dari segala gelap yang lengket pada dimensi malam, serupa jejak-jejak yang semakin hari semakin samar meninggalkan sebentuk rasa jenuh yang terbaring di jiwa ini. Aku selalu ingin lari, tapi segala kemungkinan selalu datang menawarkan suatu janji akan hidup yang mengesankan.
Dan kepercayaan pun hampir tak pernah ingin menguncupkan payung dan terus melindungiku dari segala rencana bala. Ia terus memaksaku untuk tak cepat menyerah dan berhenti mencari. Tapi, yang kucari selalu justru mengantarkanku pada tanda tanya yang baru. Aku ingin menyerah, berhenti. Tapi, suara harap senantiasa melambaikan tangannya seakan memanggil dan berteriak sebentar lagi kau akan sampai. Aku terus bersusah payah mengejarnya. Letih dan tertatih-tatih. Haruskah aku akui? Kepada-Mu? Tuhan aku hanya ingin mati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H