Lihat ke Halaman Asli

Ketika Nasionalisme Menekan Keragaman Budaya

Diperbarui: 15 Juni 2016   21:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjadi Pemimpin di RRT, Korea, India, Pakistan, Jepang dan sebagian besar negara eropa sepintas terlihat mudah, karena mereka hanya memimpin masyarakat yang secara kultural memiliki kesamaan. - kendati seiring perkembangan jaman semua kultur sudah semakin melebur.

Tapi coba bayangkan betapa sulitnya memimpin negara seperti Amerika dan, tentu saja Indonesia. Secara kultural pasti tak mudah. Bisa jadi di Amerika lebih mudah, karena kebudayaan yang mereka 'miliki' tak sebanyak di Indonesia.

Apalagi seiring perkembangan teknologi komunikasi perkawinan budaya justru semakin menggiring kita pada keniscayaan identitas tunggal. Maka tak mengherankan ketika banyak orang mulai mengidentifikasi diri hingga kembali jatuh pada semangat primordialisme sempit.

Dalam konteks Indonesia, konflik kultural bukan hanya terjadi di pemerintahan pusat, tetapi juga terutama di pemerintahan daerah. Biasanya orang secara arkhaik selalu mempersoalkan siapa penduduk asil dan siapa pendatang, siapa tuan rumah dan siapa tamu?

Kerap terjadi perang terbuka antar kultur yang satu dengan kultur yang lain, kendati seringkali dibungkus dengan perang antar-agama; tetapi jauh lebih banyak terjadi justru perang tertutup antar suku.

Sebagian besar orang Sunda misalnya tak mau disebut orang Jawa. Ini persis ketika sebagian kecil orang Karo tak mau menyebut dirinya Karo. Madura atau Jawa Timur malah sering dikatakan berbeda dengan Jawa yang ada di Jateng dan DI Yogyakarta. 

Kita kerap berpikir bahwa konflik antar budaya tak akan terjadi lagi di saat semua anggota suku yang ada di dunia ini sudah saling silang lewat perkawinan dan lewat interaksi budaya lainnya. Nyatanya, sisi arkhaik berupa hasrat purba akan pentingnya identitas justru menjadi persoalan baru dalam interaksi antar budaya.

Dominasi orang Jawa di Jakarta misalnya kerap membuat orang Betawi ciut hingga menepi ke pinggiran kota. Demikian juga dominiasi orang Batak Toba  dan Mandailing di Kota Medan dan beberapa kota di Sumatera Utara kerap membuat orang Melayu, Karo, atau Simalungun merasa ditepikan.  Sebaliknya, pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah pusat, terutama di bidang industri parawisata di kawasan Danau Toba, justru kerap melahirkan ketakutan dan kekuatiran belebihan dari sebagian kecil orang Batak Toba bahwa mereka akan terpinggirkan oleh para pengusaha dengan bantuan penguasa.

Berani atau kuatir, melambat atau melaju, berteman atau memusuhi dst adalah sikap yang bisa kita pilih secara bebas. Tetapi pada akhirnya kita harus menyadari bahwa kita dihadiahi Tuhan akal budi dan hati untuk mendapatkan yang terbaik.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline