Lihat ke Halaman Asli

Batavia Kota Banjir?

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya baru saja menyelesaikan membaca buku "Batavia Kota Banjir" karya Alwi Shahab, terbitan Republika.

Buku ini berisi kisah-kisah 'Jakarta Tempo Doeloe', yang ternyata berkaitan dengan keadaan Jakarta di masa sekarang.

Salah satu yang menarik ada cerita tentang mengapa Kota Jakarta sering mengalami banjir. Membaca buku Alwi Shahab ini, kita jadi tahu kalau banjir Jakarta sudah terjadi sejak lama, dan selalu memusingkan para walikota dan gubernur untuk mengendalikannya. Sejak Walikota Suwiryo sampai Sudiro, Gubernur Dr Sumarno sampai Fauzi Bowo.

Pada jaman penjajahan Belanda, banjir besar terjadi di Jakarta pada tahun 1872, yang menyebabkan Sluisbur (Pintu Air), yang terletak di depan Masjid Istiqlal, jebol. Bahkan pernah Ciliwung meluap dan merendam pertokoan serta hotel di Jalan Gajah Mada, Hayam Wuruk dan sekitarnya.

Banjir besar di jaman Belanda juga memusingkan para gubernur jenderal Belanda. Dari JP Coen sampai AWL Tjarda van Starkenborgh Stachoewer juga gagal mengatasi banjir di Batavia.

Mengapa banjir selalu menghampiri Jakarta?

Menurut buku 'Batavia Kota Banjir' ini, Jakarta terletak di dataran rendah. Kota Batavia oleh pendirinya JP Coen didirikan di atas rawa-rawa. Dalam Prasasti Tugu di Jakarta Utara yang kini disimpan di Museum Sejarah Jakarta, pada zaman Kerajaan Tarumanegara sering dilanda banjir. Untuk itu, Raja Purnawarman yang memimpin kerajaan ini pernah menggali Kali Chandrabagha (Bekasi) dan Kali Gimati (Kali Mati di Tangerang), sepanjang 12 km untuk mengatasi banjir.

Pada tahun 1895, pemerintah Hindia Belanda pernah merancang grand design untuk menanggulangi banjir di Batavia, karena sadar Batavia merupakan dataran rendah yang potensial dilanda banjir, karena daerahnya berawa-rawa dan banyak terdapat situ (danau kecil). Grand design itu mencakup pembangunan yang menyeluruh dari daerah hulu di kawasan Puncak hingga hilir di daerah estuaria di utara Jakarta.

Banjir memang tak pernah jemu melanda Jakarta. Salah satu hasil kerja dari Pemerintah DKI Jakarta masa kepemimpinan Fauzi Bowo adalah Banjir Kanal Timur (BKT). Seperti yang dijelaskan di Wikipedia, BKT mengacu pada rencana induk yang kemudian dilengkapi "The Study on Urban Drainage and Wastewater Disposal Project in the City of Jakarta" tahun 1991, serta "The Study on Comprehensive River Water Management Plan in Jabotabek" pada Maret 1997. Keduanya dibuat oleh Japan International Cooperation Agency.

Selain berfungsi mengurangi ancaman banjir di 13 kawasan, melindungi permukiman, kawasan industri, dan pergudangan di Jakarta bagian timur, BKT juga dimaksudkan sebagai prasarana konservasi air untuk pengisian kembali air tanah dan sumber air baku serta prasarana transportasi air.

BKT direncanakan untuk menampung aliran Kali Ciliwung, Kali Cililitan, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung. Daerah tangkapan air (catchment area) mencakup luas lebih kurang 207 kilometer persegi atau sekitar 20.700 hektare.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline