Teman saya pernah berujar; saya selalu sudah pasang muka jutek jika keluarganya meminta untuk jalan-jalan ke mal, baginya ke mal harus punya tujuan, mau ngapain? Beli buku? Beli pakaian? Apa mau nonton? Atau sekadar makan? Tetap harus pastikan dulu, jika tidak, pasti bakal tepok jidat karena bakal menyedot kocek yang tidak sedikit.
Mal bagi teman saya cuma sekadar destinasi dalam arti yang sesungguhnya, dapat apa yang dicari, selesai. Untungnya pandangan teman saya itu tidak mewakili kebanyakan konsumen kita, buktinya mal bisa dipastikan selalu penuh... coba bayangkan jika maunya teman itu mewakili sebagian besar kebiasaan konsumen kita, bakal banyak yang gulung tikar paling tidak butuh ekstra promosi untuk menyedot pengunjung.
Saya justru sebaliknya, bisa jadi karena lingkup kerja saya di dunia properti. Mal bisa lebih dari sekedar destinasi; pergi ke mal bersama anak-anak justru menyenangkan, kami pilih pada saat liburan, itu berarti bisa weekend atau pas tanggal merah, yang jelas itu saat di mana mal bakal kebanjiran pengunjung. Atmosfer mal bisa membantu melepas kepenatan selama seminggu kerja apalagi jika melihat wajah anak-anak yang sumringah.
Segmen setiap mal, plaza atau apapun istilahnya berbeda-beda, dari tampilan luar saja jika kita jeli sudah dapat menyimpulkan target atau segmen yang dibidik, akan lebih jelas lagi ketika kita masuk ke dalamnya. Dari tenant yang ada, penataan display produk, lalu semakin detail –kita akan melihat harga yang mereka tawarkan, apakah cukup murah atau tergolong mahal. Semakin tinggi segmen yang dibidik, pasti semakin nyaman bagi pengunjung.
Untuk saya yang tinggal di Jalan Pemuda (Jakarta) dan sekitarnya, tidak banyak pilihan mal kecuali saya mengarahkan sedikit ke utara Jakarta, yaitu Kelapa Gading.
Kali ini saya akan bercerita salah satu mal di sana. Saya tahu persis saat pertama kali mal ini berdiri, termasuk mal pertama yang berdiri di Kelapa Gading. Saya selalu tertarik melihat sesuatu dari sudut yang berbeda, termasuk juga saya melihat mal yang satu ini. Sudah sering saya mengunjungi mal ini, bukan sekali dua kali dan setiap kunjungan selalu membuat saya berdecak kagum...semakin ramai.
Seperti sebuah gunung yang tampak eksotis; kita dibuat tidak sabar untuk segera masuk ke dalamnya, menikmati pohon yang rimbun, dilatari suara gemericik air yang mengalir bening, satwa yang berlarian lincah ke sana, ke mari; ilustrasi yang agak berlebihan memang atau malah kurang tepat. Saya melihat mal yang satu ini seperti itu, masuk parkir seberapa padat pun --saya nyaris tidak terjebak antrian panjang, pengelola memang memanjakan dengan membuka banyak akses pintu masuk, ini saja sudah point bagi saya. Pada saat ramai, memang tidak mudah untuk mendapatkan tempat parkir tapi pasti ada; pengelola mal sudah memperhitungkan tingkat okupansi dengan luasnya area parkir yang tersedia. Hanya dibutuhkan kesabaran saja untuk mendapatkan tempat yang kosong.
Memasuki mal seluas 150.000 m2 ini, kita langsung disuguhi pemandangan selasar yang dipadati lalu lalang pengunjung, belum lagi event di void (sepertinya tiada weekend tanpa event). Hampir di setiap lantai kita bakal mendapatkan suasana yang sama: ramai.
Melihat tenant yang 99% terisi semua, peritel lokal dan internasional berbaur di sini. Saya perkirakan okupansi pengunjung pada saat weekend bisa lebih dari 150.000 pengunjung, dan setelah saya browsing mencari tahu mal yang bersangkutan, benar saja...bahkan mereka mentargetkan tingkat okupansi bisa meningkat hingga 300.000 pengunjung. Buat saya mal ini sangat eksotis, seperti melihat gunung dengan hutannya yang hijau: apapun yang mereka lakukan selalu berdampak positif pada peningkatan jumlah pengunjung.
Terlepas dari itu semua, yang harus saya akui, manajemen mereka memang profesional, yang sederhana, toilet yang selalu terjaga bersih dan nyaris saya tidak pernah dikecewakan untuk urusan parkir. Yang ingin saya sampaikan disini adalah mal yang eksotis tidak melulu pada urusan megahnya bangunan seperti Dubai Mall di Uni Emirat Arab sana, tapi dengan manajemen profesional yang memahami apa yang diinginkan konsumen, itu sudah sangat pantas untuk mendapat lonjakan pengunjung.
Mal sebagai lebih dari sekadar destinasi keluarga, bagi saya sah-sah saja. Ketimbang harus mengisi liburan ke luar kota, menghabiskan biaya tol, bensin, hotel, makan, belum bermacet-macetan: kan lebih baik ke mal. Tergantung bagaimana kita melihatnya, jika saya ajak anak saya ke mal sambil mampir ke toko buku.... Toh itu berdampak positif buat mereka. Mal indentik dengan pola hidup konsumtif, bisa ya dan bisa tidak. Toh teman saya ada yang ke mal jika memang sudah ada tujuan, saya pun ajak keluarga saya ke mal tidak harus menghabiskan uang banyak, sekadar ajak mereka makan, beli buku. Dengan kalkulasi sederhana, makan di pinggir jalan pun tidak beda jauh habisnya; yang jelas, biasanya anak-anak suka dengan suasana ramai dan nyaman.