Lihat ke Halaman Asli

Ngobrolin Genre Musik Bareng DISSA

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1426860528168265015

Cita-cita itu memang harus diwujudkan. Dan butuh perjuangan keras untuk bisa merealisasikannya. Tapi apa yang kira-kira membuat kegagalan yang datang itu tidak menggoyahkan sebuah perjuangan untuk mewujudkan cita-cita? soal pertanyaan ini, Dissa bisa menjawabnya. Dissa merupakan sebuah Band kelahiran Bandung 12 tahun silam. Pada awal formasinya tahun 2003, Band Dissa berjumlah 5 orang, yang terdiri dari Mirkal pada (vocal), Agha (guitar), Aris (keyboard), Adit (guitar) dan seorang Drumer yang telah memutuskan mengundurkan diri karena memilih profesi lain sebagai wirausaha. Meski kehilangan satu personilnya. Keempat orang personil Dissa yang lain tetap melaju dan faith untuk berada di belantika musik tanah air.

Perjuangan dan perjalanan Dissa

Perjalanan bermusik Dissa untuk bisa merebut hati para penikmat musik dan pasar industri kreatif terbilang panjang dan berliku-liku. Cerita ini dibagi langsung oleh Dissa kepada para Kompasianer yang hadir dalam acara Kompasiana Ngulik; bersama Meet The Labels Di Kantor Kompas Gramedia Palmera Barat Lat.6 pada Jum’at 13 Maret 2015.

Diakui Mirkal, merintis karir di dunia musik ngak gampang. Sebelum ini Dissa pernah dinaungi oleh lebel yang juga ternama namun belum maksimal menembus pasar. Dari satu perusahaan lebel musik, pindah ke perusahaan lebel musik lainnya. Sampai pada suatu titik, Dissa sebagai Band yang pernah mencicipi di kontrak lebel perusahaan besar tidak merasa gengsi untuk kembali mengikuti audisi dalam ajang kompetisi bermusik yang diselenggarakan Meet The Label.

Dalam ajang kompetisi tersebut, Mirkal, Argha, Aris dan Adit kembali membuktikan musikalitas serta kualitas bermusik mereka hingga dinobatkan menjadi pemenang. Kemenangan itu dibarengi debut single pertamanya yang berjudul “Penantian Bodoh”. Menjadi berkah tersendiri bagi Dissa, ketika single lagu yang mereka keluarkan tersebut menarik minat lebel sebesar E-motions untuk mengontraknya.

Pemilihan genre sebagai identitas bermusik.

Bicara soal musik secara universal tentu tidak akan ada ujungnya. Banyak topik menarik yang bisa dibahas tentang musik, tapi sebagai penikmat musik apalagi orang yang paham musik. Kiranya tidak salah, jika kita-sedikit banyak harus tahu tentang sejarah perkembangan musik dunia. Di Indonesia sendiri dikenal ada dua asal muasal aliran musik, ada yang lahir karena adaptasi dari negara lain seperti K-pop, R n B dan sebagainya. Ada juga musik asli milik Indonesia seperti dangdut. Demikian wacana awal yang dibangun oleh Nadia Fatira selaku MC di acara Kompasiana Ngulik sore hari ini.

Mengutip sedikit apa yang dipaparkan Nadia, kalau musik itu sudah ada sejak zaman dulu. Menurut klasifikasinya musik dibagi menjadi 3, mencakup; musik seni seperti jenis musik klasik, musik instrumental atau musik yang tanpa adanya lirik lagu. Kedua, musik populer seperti jenis musik pop, rock, blues, gospel, regge dll. Ketiga musik tradisional seperti jenis musik keroncong, gambus, gambang kromong dll. Namun diantara jenis musik tersebut seiring dengan berjalannya waktu jenis itu akan melahirkan sub-bagian musik lainnya, misalnya jenis musik rock. Memiliki sub-bagian lain seperti rock n roll, soft rock, alternative rock, punk rock, dan lain sebagainya

Dari sekian banyak jenis musik yang ada, Dissa sendiri memilih jenis musik Pop modern sebagai identitas bermusiknya bukan tanpa alasan. Meskipun kiblat bermusik tiap personilnya berbeda-beda. Aris lebih senang musik instrumental dan mengidolakan Kenny G. Kitaro, sedang yang lainnya beragam ada yang inspirasi bermusiknya dari Slank, Dewa 19, SOS7 sampai Padi. Tapi, disitu seninya sebuah band. Ujar Agha, “perbedaan pasti ada tapi tetep harus kompak dan fokus lagi pada tujuan awal bermusik”

Keputusan untuk memilih jalur genre Pop modern juga didasari oleh selera pasar. Aris lebih vocal dan kritis menanggapi soal ini “Di Indonesia ini, genre musik selain pop susah booming. Musik dengan nyawa idealisme bermusik hanya bisa diterima di kalangan komunitas bukan dipasar musik industri. Jadi memang harus ikutin maunya kuping pendengar kalau mau rajin tampil di acara musikTV ” ujarnya seraya berkelakar. Sedangkan Mirkal sebagai vokalis Dissa memang meyakini bahwa warna suaranya memang lebih cocok dijalur Pop.

Lebih dalam soal penentuan genre musik yang diusung Dissa, Rangga Yuniza selaku promotion supervisor E-motions yang turut hadir dalam acara Kompasiana Ngulik itu mengakui; kami (E-motion) tidak banyak ikut campur dalam karya-karya musik Dissa. Hanya sedikit mengarahkan supaya lagu Dissa dapat diterima publik dengan baik. Rangga sendiri optimis menilai Dissa bisa menjadi warna baru dibelantika musik indonesia khususnya di genre pop yang sudah semarak tapi tetap bisa mencuri hati para pecinta musik. “Karena Band Dissa ini punya faktor X yang ngak bisa dijelaskan dengan kata-kata tapi, dia meyakini bahwa Dissa memang punya modal untuk lebih sukses kedepan” tutupnya.

Akhir acara, aksi live performence Dissa

Keseruan rangkaian acara Kompasiana ngulik bareng Meet The Labels yang bertema ngobrrolin genre musik ini ditutup dengan melihat live performace dari Dissa, semua Kompasianer yang berkesempatan hadir pada sore itu sangat antusias. Tidak kalah sama antusiasnya pada saat MC mempersilahkan sesi tanya jawab oleh Dissa.

Mengenai lagu ‘Penantian Bodoh', bila dikulik dari liriknya, lagu ini berkisah tentang ketulusan hati seseorang saat mencintai karena dia tidak peduli meski cintanya bertepuk sebelah tangan. Tidak peduli meski tidak bisa memiliki, tidak peduli meski orang lain berkata cinta yang demikian itu cuma ‘penantian bodoh’, harapan kosong dan cuma khayalan saja, Meski penciptanya sendiri, Aris tidak menspesifikan apa arti dari lagu penantian bodoh “biar pendengar yang mendefinisikan sendiri” begitu ungkapnya.

Dibawakan merdu oleh suara Mirkal. Ada yang berbeda dari musik Dissa dan hal itu bisa terdengar pada saat lagu ‘penantian bodoh ini dimainkan. Dalam musiknya yang bergenre Pop-modern justru Dissa berani memasukkan unsur Lead guitar yang kebanyakan terdengar hanya di lagu-lagu rock. Ini termasuk nilai kreatif dan kreasi Dissa dalam menggubah melodi untuk mencipta lagu. Tidak adanya instrumen drum dalam musik Dissa sama-sekali tidak membuat keragu-raguan pendengar untuk mengatakan bahwa lagu Dissa memang easy-listening. Kekuatan setiap kata dalam liriknya ‘dalem’ banget. Secara musikalitasnya tidak perlu diragukan. Tapi ada satu point yang kurang dalam aksi performencenya, Dissa terlihat sekali kurang pede dalam membawakan lagu mereka sendiri pada saat ‘manggung’. Semangat terus buat Dissa

#Dokumentasi acara


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline