Purwokerto - Pada mulanya saya hanya iseng hendak mengerjakan tugas mata kuliah islam dan media, untuk menuliskan opini mengenai peran umat islam dalam manajemen pengelolaan media masa. Lalu saya menemukan headline menarik, kemudian saya bagikan dengan kawan aktivis perempuan yang merokok.
Kami tertegun serta nyengir berdaulat, meyimak secara tumakninah sebuah opini berjudul ''Mahasiswi Yang Merokok Cenderung Alami Krisis Psikososial'' yang tayang pada minggu, 30 Juni 2024 di sebuah media online milik salah satu ormas.
Kami kira, pembahasan merokok ini netral saja. Bahwa merokok itu tidak baik secara medis misalnya, maka habis perkara. Kami sepakat. Tetapi kok ke bawahnya malah berbicara soal mahasiswinya saja?
Tentu, tulisan ini konon berdasarkan penelitian yang mutakhir, tapi setelah saya mengobrol dengan beberapa kawan perempuan yang merokok, kok mereka tidak merasa terwakilkan oleh tulisan ini? Lantas data ini sebetulnya pendapat siapa?
Baik lah, untuk itu, tulisan ini dimaksudkan untuk mewakili perspektif segenap kawan saya, yang tidak cukup sepakat dengan steatment tersebut.
Dalam tulisan tersebut dituliskan ''meski menurut penelitian kuantitas mereka sangat sedikit, akan tetapi ini sangat berdampak negatif bagi perkembangan sosial mahasiswi pada level bawah mereka. Sebagian kecil menyebutkan, ia merasa menjadi sederajat dengan laki-laki dalam hal kebebasan hidup, sikap mental semacam ini tentu berbahaya, '''
Pertanyaan saya adalah, kenapa merasa sederajat dengan laki-laki itu dianggap berbahaya? Sementara dalam Al-Qur'an Surat al-Dzariat ayat 56 menunjukan bahwa Allah SWT menempatkan posisi perempuan dan laki-laki sebagai hambaNya yang setara.
Laki-laki dan perempuan juga setara dalam menjalankan perannya sebagai khalifah di bumi (Q.S AL-Baqoroh ayat 30) , laki-laki dan perempuan juga setara dalam menerima perjanjian primordial (QS. Al-A'raf ayat 17), nabi Adam dan Hawa sama-sama aktif dalam drama kosmis (QS al-Baqoroh ayat 35) , laki-laki dan perempuan sama-sama dapat meranin prestasi yang tinggi (QS. Ali Imron ayat 195)
Lantas apa yang dikhawatirkan dengan kesetaraan laki-laki dan perempuan?
Kemudian, Teori Erikson juga menyatakan bahwa krisis psikososial bisa dialami oleh siapa saja, baik laki-laki mau pun perempuan, terutama pada fase perkembangan kritis seperti remaja dan dewasa awal. Jadi, merokok bukan lah isu terbatas pada gender tertentu.
Studi menunjukan bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki resiko yang sama untuk merokok terkait dengan krisis psikososial, seperti stress atau tekanan.
Dengan kata lain kecenderungan ini bersifat subjektif, terbukti dengan obrolan saya dengan beberapa kawan perempuan yang merokok. Mereka sepakat stereotip bahwa perempuan perokok cenderung mengalami krisis psikososial bisa dianggap simplistk dan tidak adil.
Sebab mereka merokok sekadar sebuah pilihan pribadi, bukan karena maladaptasi ketika sedang mencari jati diri.
Perempuan Perokok Bukan Simbol Kebinalan
Saya tidak sepakat dengan simbol yang mengklaim perempuan perokok sebagai bentuk kebinalan, atau kenakalan yang bisa menjadi daya tarik bagi lawan jenis.