Lihat ke Halaman Asli

Lubisanileda

I'm on my way

Tulisan Feature yang Terabaikan

Diperbarui: 27 Desember 2019   00:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Dokumentasi Pribadi

Apa yang salah dengan tulisan bergenre 'feature'? Sampai-sampai seseorang mengutarakan pendapatnya di hadapan publik, feature adalah tulisan yang lebay. 

Bagaimana dengan Majalah Tempo? Apakah pendapatnya serupa dengan itu? Majalah Tempo memuat tulisan yang lebay. Atau, apakah karena aku bukan jurnalis yang bernaung di Majalah Tempo? Lalu apa ia masih berpendapat sama, andai aku adalah wartawan Tempo?

Sore itu, pada satu Kamis yang santuy. Seperti biasa, aku dan beberapa teman senang menghabiskan waktu berbincang ala ala 'tea time' budaya Inggris kala matahari hendak berlabuh menuju Barat. Senja tiba, dan kami pun bercengkrama tentang segala hal. Utama adalah tentang pekerjaan. Mulai peliputan yang jauh, nara sumber yang tidak kooperatif, sampai soal lead, judul, hingga gaya penulisan.

Kadang-kadang obrolan dicampur dengan cerita keluarga. Paling sering tentang anak-anak yang masih lucu-lucunya. Ya menyempil juga tentang kebutuhan anak seperti susu, pampers, dan kebutuhan lainnya.  Namanya juga obrolan warung kopi. Semua bebas bicara tentang apa pun. 

Namun tidak dengan satu sore itu. Obrolan telah berubah menjadi tanya jawab antara hakim dan terdakwa. Warung kopi berganti menjadi ruang sidang. Anehnya hakimnya banyak, jaksanya juga banyak. Tapi tak ada pengacara yang mendampingi. Ada juga yang diam-diam, seperti panitera yang tugasnya hanya mencatat. 

Bermula dari pembahasan gaya penulisan, tiba-tiba seorang teman menyerangku dengan pernyataan yang tak enak di dengar, juga tak penting untuk dirasa. "Tulisanmu lebay!" katanya. 

"Lho, itu kan gaya feature. Lebay ya wajar. Tergantung bagaimana persepsimu," sanggahku.
"Tetap saja bagiku itu lebay!" ulangnya lagi.
"Apakah karena bung tak mampu menulis tulisan feature, lantas menghakimi tulisanku lebay?" tanyaku.
"Menurutku tulisanmu lebay," ulangnya ketiga kali.
"Mengapa harus repot memikirkan itu. Beri aku contoh seperti apa tulisan feature yang tak lebay itu," tantangku.

Dia diam. Aku diam. Semua orang diam. Matahari telah berlabuh di Barat. Langit mulai gelap. Kopi yang kupesan tinggal seteguk lagi. Kuminum saja, meski ampas kopi terbawa masuk ke dalam kerongkongan.  Sekalian pikirku. Pernyataan pahit harus disempurnakan dengan kopi yang pahit sekaligus. 

Hampir tiga pekan berlalu. Hubungan sosial tetap terjalin baik. Namun di dalam hati, aku masih memikirkan itu. Bahkan ketika aku menulis ini, pun aku belum menemukan jawabannya. 

Mengapa feature disebut tulisan yang lebay? Aku mulai menganalisis, sekaligus menghakiminya diam-diam. Belum pernah aku membaca tulisan featurenya. Kecuali berita-berita straight news yang bersumber dari rilis yang dikirimkan nara sumber, bahkan cenderung berbau ceremonial. 

Begitupun aku tak pernah membaca straight news khasnya yang ia ciptakan dalam setiap berita yang berlabel kode singkatan namanya. Informasi beritanya yang kubaca persis dengan informasi berita yang ada di media cetak pun online lainnya. Tak ada informasi yang berbeda. Jika begitu, apa aku boleh menyebutnya sebagai jurnalis copy paste? Dibandingkan lebay, copy paste adalah kegagalan yang dilakukan seorang jurnalis. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline