Sejak diberlakukannya kebijakan pengurangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi hanya 1% untuk pembelian mobil listrik yang memenuhi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) 40%, adopsi kendaraan listrik di Indonesia mengalami peningkatan. Kebijakan ini, yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK), dirancang untuk mendorong penggunaan kendaraan ramah lingkungan sekaligus memperkuat ekosistem industri otomotif lokal. Namun, setelah beberapa bulan pelaksanaannya, kritik mulai muncul, terutama karena manfaat kebijakan ini lebih banyak dirasakan oleh pembeli dari kalangan atas.
Bagaimana Kebijakan Ini Dilaksanakan?
Dalam kebijakan ini, PPN untuk mobil listrik yang seharusnya 11% dikurangi menjadi hanya 1%. Artinya, pembeli mobil listrik mendapatkan potongan PPN sebesar 10% dari harga kendaraan yang mereka beli. Syaratnya, kendaraan tersebut harus memiliki kandungan lokal yang memenuhi standar TKDN minimal 40%.
Namun, karena potongan pajak ini dihitung berdasarkan persentase harga kendaraan, dampaknya jauh lebih besar bagi pembeli mobil listrik mahal dibandingkan dengan pembeli mobil listrik yang lebih terjangkau.
Contoh Realitas di Lapangan:
- Mobil listrik dengan harga Rp 700 juta: Potongan pajak 10% setara dengan Rp 70 juta.
- Mobil listrik dengan harga Rp 300 juta: Potongan pajak 10% hanya sekitar Rp 30 juta.
Selisih ini menunjukkan bahwa pembeli mobil listrik mahal mendapatkan manfaat pajak dua kali lipat lebih besar secara nominal dibandingkan dengan pembeli mobil listrik murah. Hal ini telah menimbulkan ketimpangan dalam distribusi manfaat kebijakan.
Kritik terhadap Kebijakan
Kritik terhadap kebijakan ini berfokus pada beberapa aspek berikut:
- Kesenjangan Manfaat
Pembeli dari kalangan kaya, yang mampu membeli mobil listrik premium, menikmati manfaat yang jauh lebih besar. Bagi mereka, potongan pajak sebesar Rp 70 juta atau lebih dapat meringankan pengeluaran secara signifikan, menjadikan mobil listrik sebagai pilihan yang lebih menarik.
Sebaliknya, kelas menengah yang biasanya lebih memilih mobil listrik dengan harga lebih rendah hanya mendapatkan potongan pajak yang lebih kecil. Mengingat harga mobil listrik tetap lebih mahal dibandingkan dengan mobil berbahan bakar fosil dalam kategori yang sama, insentif ini dinilai tidak cukup kuat untuk memengaruhi keputusan mereka.
Tidak Mendukung Inklusivitas
Kebijakan ini berpotensi menciptakan persepsi bahwa pemerintah lebih memprioritaskan kelompok kaya. Sementara itu, kelas menengah yang sebenarnya lebih membutuhkan dukungan finansial untuk beralih ke kendaraan listrik tidak mendapat manfaat yang sebanding.Minimnya Dampak Sosial
Kebijakan ini, meskipun berhasil meningkatkan penjualan mobil listrik premium, belum cukup untuk mendorong adopsi masif kendaraan listrik di berbagai lapisan masyarakat. Padahal, keberhasilan transisi ke kendaraan listrik sangat bergantung pada keterlibatan semua segmen, termasuk kelas menengah dan bawah.