Lihat ke Halaman Asli

Kenapa Kartini?

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13665932461801783693

Di Indonesia, ada banyak Perempuan (Muslilmah*) dengan peran dan kontribusi mencerdaskan dan membanggakan...

Ada Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh,

Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan,

Dewi Sartika di Bandung,

Rohana Kudus di Padang (kemudian ke Medan),

Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh.

Kenapa harus RA Kartini?

Baiklah, pertanyaan diatas dapat dijawab dengan memaparkan fakta bahwa segala pemikiran Kartini terdokumentasi dengan baik. Surat-surat R.A Kartini dirangkum menjadi satu buku berjudul Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Cahaya, terbit pada 1911). Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerjemahkan  buku tersebut  dalam bahasa Melayu. Hal ini masih ditambah tulisan mengenai buah pemikiran Kartini oleh Armijn Pane dan gubahan lagu “Ibu Kita Kartini” oleh WR Supratman.

Jadi walaupun Kartini cuma hidup selama 25 tahun, pemikirannya tetap abadi dan namanya lebih populer. Berapa banyak tulisan yang kita miliki mengenai pemikiran tokoh pergerakan wanita Indonesia lainnya? Nyaris tidak pernah terdengar kalaupun memang ada. Wajar kalau Kartini lebih menonjol dibandingkan tokoh lainnya.

Terjawablah sudah pertanyan diatas.

*Mungkin ada yang bertanya kenapa harus ada embel-embel Muslilmah di pertanyaan diatas? sehingga menghapus nama Maria Walanda Maramis dan Martha Christina Tiahahu dari daftar. Anggap saja itu adalah status Facebook di Newsfeed saya yang diposting oleh simpatisan partai tertentu yang kaku.

Karena pertanyaan yang menjadi alasan saya menulis sudah terjawab jadi sekarang saya mau cerita apa lagi? Bagaimana kalau membahas apa yang diperjuangkan Ibu-ibu bangsa kita itu..

Baiklah, jadi apa yang diperjuangkan wanita-wanita hebat tersebut? Emansipasi? Kata emansipasi seringkali dipahami berbeda-beda. Apakah emansipasi itu berarti seorang wanita harus diperlakukan sama dalam segala hal? Hal ini harus dimengerti dari dua sisi karena seorang wanita tetaplah akan menjadi ibu. Lalu, bagaimana kita merespon fakta bahwa ada kalangan wanita yang lebih mementingkan karir dibandingkan mengurus keluarga.

Menarik untuk melihat bahwa kebanyakan tokoh emansipasi wanita memulai gerakan dengan mengajar para perempuan keahlian praktis untuk mengurus keluarga. Dewi Sartika dengan Sekolah Kautamaan Istri dan Rohana Kudus yang mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia, mereka memberikan pelajaran kepada perempuan pribumi keahlian merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis dan sebagainya. Bukankah semua pendidikan tersebut dimaksudkan untuk mengurus keluarga?

Para Ibu bangsa diatas memperjuangkan proses pelepasan diri para wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah, dari pengekangan hukum yang mencegah kemungkinan untuk berkembang, dari sistem pingit yang membatasi mereka untuk mengenyam pendidikan, dan mereka telah berhasil. Mereka tidak menginginkan wanita menomorduakan keluarga dan tergila-gila mengejar karir untuk membuktikan kesetaraan gender. Wanita yang berusaha beridiri mandiri sebenarnya melawan keinginan dan kebutuhannya sebagai seorang istri.

Berikut saya sajikan kutipan cerpen dari AA Navis yang saya anggap sangat menggambarkan pandangan saya mengenai emansipasi wanita. Novel ini berpusat pada tokoh Maria, tokoh pergerakan yang digambarkan tangguh, kolot dan keras.

“Tahu kau? Ketika kita mula berkenalan dulu, kau dan Cok aku masukkan dalam daftar nominasi calon suamiku. Tapi kau tersisih, karena Cok lebih mampu memerintahku. Kau ingat waktu kita mau rapat dulu. Ruang rapat begitu kotornya. Cok memberi aku sapu dan menyuruhku menyapu. Ingat? Itulah, maka aku memilih Cok.”

lalu aku goda dia dengan mengatakan, “Tak kuduga seorang gadis yg emansipatif, masih memerlukan laki-laki yang mampu memerintah dia.”

-Maria, dalam Jodoh karya A.A. Navis

13665281091080255804

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline