Hari ini, 13 Februari diperingati sebagai Hari Radio Sedunia. Peringatan lahirnya radio dan perkembangannya ini diumumkan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk pendidikan, organisasi dan kebudayaan (UNESCO) dalam persidangan ke-36 pada 3 November 2011 lalu.
Peringatan ini untuk meningkatkan kesadaran banyak orang mengenai pentingnya peranan radio dalam menyebarkan informasi, terutama para pemanku kepentingan. Selain itu, hari tersebut menjadi ajang penghargaan bagi mereka yang pernah atau sedang bekerja di industri radio di seluruh dunia. Sejak menjalankan siaran perdananya lebih dari 100 tahun yang lalu, media ini terbukti mampu menjadi sumber informasi masyarakat. Apalagi, radio merupakan media yang mudah diakses dan murah.
Saya pribadi merasa bersyukur, setidaknya pernah menjadi bagian dari media konvensional ini. Ketika masih kanak-kanak, saya pernah membayangkan, betapa mengasyikkannya menjadi seorang penyiar. Hanya bermodalkan cuap-cuap, seseorang bisa menjadi tenar seketika.
Namun ketika seorang teman kos mengajak saya untuk menghadiri sebuah seminar tentang dunia radio pada Sabtu 9 Maret 2009, terbukalah pikiran saya. Ternyata, apa yang saya bayangkan selama ini salah besar. Radio bukan sarana untuk menyampaikan celotehan sesuka hati, melainkan sebuah media untuk menyampaikan informasi dan mendidik masyarakat, melalui pemberitaan yang aktual dan terpercaya. Tentu saja, diselingi musik yang tak kalah menginspirasi para pendengarnya.
Sebelum menjadi seorang penyiar radio, seseorang harus menjalani pelatihan dalam kurun waktu tertentu. Apalagi, jika sebelumnya ia belum pernah mengenyam pendidikan broadcasting sama sekali. Status sebagai mahasiswa strata satu (S1) ilmu komunikasi sekalipun, tidak menjamin seseorang memiliki dasar yang cukup untuk bersiaran di radio.
Radio pertama sebagai “sekolah” broadcasting yang sesungguhnya adalah sebuah radio kampus yang berada di bawah naungan rektorat. Meski begitu, saya akui, proses pendidikannya benar-benar ketat dan profesional. Di sana, saya menjalani proses selama kurang lebih tiga bulan. Tempaan yaang diberikan benar-benar dari nol hingga akhirnya para konsultan radio tersebut memberikan kepercayaan untuk bersiaran sendiri, tanpa pendampingan siapapun di ruang siar.
Kali ini, saya akan membagikan, proses apa saja yang harus dilakukan seseorang sebelum akhirnya duduk di “kursi panas” ruang siar:
Pertama, menulis naskah atau skrip
Bagi saya, ini adalah fase paling sulit di antara tahapan-tahapan yang harus dilalui. Berita dari koran, majalah maupun internet harus diubah menjadi naskah radio. Tentu ini menjadi tantangan tersendiri karena bahasa tulis dalam media cetak sangat berbeda dengan bahasa tutur yang digunakan untuk bersiaran.
Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tutur adalah ucapan atau kata. Itu artinya, skrip radio menggunakan bahasa sesuai ucapan sehari-hari.
Tak heran, jika ada dua slogan yang menjadi landasan penulisan naskah radio. Pertama, write the way you talk atau tulislah apa yang kamu katakan. Kedua, keep it short and simple (KISS) yang berarti pastikan naskah itu singkat dan mudah.