Pernyataan seniman asal Perancis, Henri Matisse bahwa kreativitas itu memerlukan usaha, memang benar adanya. Kalau biasanya mengerjakan sesuatu dengan biasa saja dan asal selesai saja bisa, kali ini kreativitas menuntut seseorang untuk berpikir lebih. Memberikan sedikit sentuhan untuk menciptakan suasana yang berbeda dari biasanya. Tak jarang, membuat otak sedikit terperas demi mencapai suatu tujuan yang baik.
Contoh sepele dalam kehidupan sehari-hari, biasanya kita pergi kuliah atau bekerja hanya memakai kemeja dan celana panjang. Yang penting sopan dan enak dipandang. Namun sesekali, bolehlah kita sedikit berkreasi dengan memberikan sentuhan, seperti gel rambut supaya kaum pria lebih terlihat fresh dan kaum hawa bisa mengenakan rok selutut supaya tampak lebih anggun. Siapapun yang melihatnya tentu tercengang karena ada sesuatu yang berbeda dan ternyata oke juga ya.
Begitu juga ketika mendengar kata “pohon Natal”, kebanyakan orang tentu akan langsung memikirkan pohon cemara, baik asli maupun yang terbuat dari plastik alias palsu, yang dihias aneka gantungan menarik dan lampu berwarna-warni. Tetapi pernahkah Anda membayangkan pohon Natal yang dibuat dari janggel?
Janggel adalah jagung yang bijinya sudah diambil (dalam bahasa Jawa biasa disebut “dipipili”). Jadi, janggel yang tersisa tampak rapi. Batangnya tidak berantakan seperti ketika kita selesai makan jagung bakar pada malam tahun baru.
Kreasi tersebut dilakukan Gereja Baptis Indonesia (GBI) Karunia, Kediri, Jawa Timur. Istri gembala sidang GBI Karunia Kediri sekaligus penggagas ide, Anna Trisnawati mengatakan, pemikiran menggunakan janggel sebagai dekorasi Natal tahun ini terbesit ketika melihat ada banyak jagung di kawasan tempat tinggal jemaat. Warga setempat biasa mipili atau memisahkan biji-biji jagung dari batangnya, sebelum dijual. Alhasil, batangnya pun menganggur alias tidak terpakai.
“Sebagian adalah janggel dari Bu Lee (nama salah satu jemaat yang tinggal di kawasan tersebut), sisanya kita beli dari warga sekitarnya,” tukasnya.
Awalnya, wanita yang akrab disapa Anna itu menghitung janggel yang dihimpunnya sebanyak sembilan karung yang berukuran 25 kilogram. Meski diakuinya, tidak semua karung berisi jumlah janggel yang sama. Dari sembilan karung, yang berhasil terpakai hanya enam karung.
“Prosesnya nggak bisa langsung. Kita sempat coba-coba sendiri. Ada trial and error.”
Ibu dua anak itu menjelaskan, awalnya, janggel dibersihkan dan direndam dengan cat berwarna hijau, lalu diwarnai ulang menggunakan cat semprot warna hijau. Hal ini dilakukan supaya warnanya kuat dan hasilnya bagus. Sesudahnya, ada bagian tertentu pada janggel yang dibor untuk memasukkan kawat yang menghubungkannya satu sama lain, sekaligus membentuk pola pohon Natal.
“Proses pewarnaan dan pengeboran ini yang awalnya sering gagal. Tadinya, kami tidak menggunakan cara itu. Makanya ada jagung yang terbuang untuk trial and error.”
Hiasan sebagai perumpamaan lampu warna-warni, lanjut Anna, juga menggunakan bahan bekas, seperti sedotan dan bungkus kopi. Bagian ujung bungkus kopi yang bergerigi, dibiarkan. Lalu dipotong rapi dari bungkusnya dan disatukan menggunakan tali. Sebagai pemanis, di antara kumpulan bungkus kopi itu, diselipkan sedotan berwarna hijau. Berikut detailnya: