Kebanyakan orang suka bepergian ke tempat yang sejuk, bahkan dingin. Sebut saja, kalau di Jawa Timur ada Kota Malang dan Kabupaten Batu, di Jawa Barat ada Kota Bandung dan di Jakarta ada Puncak. Konon, tempat-tempat tersebut kerap menjadi jujugan orang untuk berlibur. Mencari udara yang sejuk, jauh dari kebisingan kota.
Berbeda dengan kebanyakan orang, saya justru kurang begitu menyukainya. Alasannya sepele, dingin. Tubuh saya tergolong cepat dalam merespon udara dengan suhu rendah. Akibatnya, tubuh langsung menggigil. Bahkan dalam kondisi tertentu, udara dingin yang berlebihan membuat kulit terasa gatal sehingga membuat kulit berbintik-bintik.
Namun anehnya, takdir justru membuat saya harus tinggal di kota-kota berhawa dingin.
Pertama, saya menghabiskan waktu selama empat tahun di Kota Malang untuk kuliah
Awalnya, tentu saya harus melalui fase adaptasi, apalagi sejak kecil saya tinggal di kota yang tergolong berhawa panas. Sudah bisa diduga, ini tidak mudah. Saya harus mempunyai stok bedak gatal dan minyak kayu putih. Untuk kayu putih, saya mengikuti anjuran Mama untuk menggunakan kayu putih Cap Lang. Hangatnya pas, aroma daun kayu putihnya juga enak.
Saya ingat betul, bagaimana rasanya tergeletak sakit seorang diri di kamar. Jauh dari keluarga, tentu tidak ada yang memperhatikan kondisi saya. Kalau biasanya Mama selalu membuatkan menu nasi, sup ayam hangat dan lauk-pauh, juga teh manis panas, agar selera makan saya meningkat, kali ini saya harus membelinya dulu di warung atau depot dekat kosan. Kecuali teh, saya bisa membuatnya sendiri. Namun tetap saja, rasanya beda kalau dibuat oleh tangan Mama.
Hal yang paling saya rindukan saat sakit di perantauan adalah belaian Mama. Ya, saya merasa senang dan dimanjakan ketika Mama mengoleskan kayu putih ke pelipis bagian kiri dan kanan, serta dada saya. Terakhir, Mama menempelkan telunjuknya yang masih beraroma kayu putih itu ke hidung agar saya dapat merasakan hangat dan wanginya yang menenangkan.
Merindukan suasana tersebut, saat sakit, saya pun mengoleskan kayu putih Cap Lang ke bagian-bagian tubuh yang biasa Mama oleskan. Bedanya, kali ini oleh tangan sendiri. Minyaknya sih sama. Tetapi ketika dioleskan oleh orang yang berbeda, rasanya pun berbeda. Lebih enak elusan tangan Mama. Namun, kayu putih Cap Lang cukup membantu mengobati rasa kangen belaian Mama.
Tak hanya menjadi andalan saat stamina tubuh turun, kayu putih Cap Lang biasanya juga saya oleskan ke kulit yang gatal akibat alergi udara dingin. Setidaknya, mencegah kulit semakin berbintik.
Kedua, saya melanjutkan hidup di Kota Bandung
Terlahir di salah satu kota kecil di Jawa Timur, lalu melanjutkan perkuliahan dan terjun di dunia kerja di provinsi yang sama, membuat saya tak pernah menyangka akan terdampar di Jawa Barat. Mengapa saya menyebutkan terdampar? Karena saya tidak pernah membayangkan untuk tinggal di Kota Bandung. Tetapi kalau untuk jalan-jalan, bolehlah. Lantas, apakah saya menyesal? Tentu tidak, karena Kota Bandung sangat menarik untuk dikunjungi dan dinikmati.
Hanya saja, salah satu hal yang terbesit di pikiran sebelum menginjakkan kaki di bumi Parahyangan ini adalah saya akan berhadapan lagi dengan udara dingin. Tak lagi berhadapan, saya malah menggaulinya setiap hari. Namun, ketakutan saya tak berlangsung lama ketika Mama menyelipkan kayu putih Cap Lang berukuran 30 mililiter ke dalam koper ketika sedang packing. Mama memang selalu tahu, apa yang anak perempuannya ini butuhkan.