Lebih baik mencegah daripada mengobati. Menurut saya, pepatah itu benar adanya. Di zaman modern seperti sekarang, penyakit seringkali datang tak diundang, pun tak mudah diperkirakan kapan perginya. Hal ini tidak lepas dari beragam makanan yang dikonsumsi, termasuk junk food, juga kemungkinan terjadinya musibah yang tak bisa diprediksi datangnya.
Kemungkinan munculnya kejadian yang di luar kendali manusia, membuat kita perlu memikirkan cara mengantisipasi dan meminimalisir dampak yang terjadi di kemudian hari. Sebut saja dalam bidang kesehatan. Siapapun pasti mengupayakan segala cara untuk memastikan hal yang paling vital ini. Alasannya sederhana. Jika seseorang sakit, tentu ia tidak akan bisa melakukan aktivitasnya dengan baik.
Upaya menjaga kesehatan ternyata tidak hanya dilakukan setiap individu, tetapi juga diupayakan pemerintah dengan sebaik-baiknya. Hal ini tertera dalam Pasal 28H ayat 3 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermanfaat”, serta Pasal 34 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi, “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Salah satu wujud tanggung jawab negara dilakukan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Masyarakat hanya tinggal membayar mulai puluhan ribu Rupiah kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) setiap bulan, lalu menggunakan fasilitasnya ketika jatuh sakit ke fasilitas kesehatan (faskes) terdekat, seperti pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), klinik, poliklinik dan rumah sakit. Mudah bukan?
Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) bahkan merinci dalam situs berita Kompas, kontribusi JKN-KIS (Kartu Indonesia Sehat) selama tahun 2014 antara lain industri Kesehatan Rp4,4 triliun, obat-obatan Rp1,7 triliun, lapangan kerja bidang kesehatan Rp4,2 triliun dan konstruksi rumah sakit Rp8,36 triliun.
Hingga 1 September 2016, tercatat 168.512.237 orang terdaftar dalam BPJS Kesehatan. Mereka terdiri dari berbagai kalangan, yaitu penerima bantuan iuran (BPBI), pekerja bukan penerima upah (PBPU), bukan pekerja, serta pekerja penerima upah (PPU) pegawai negeri sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMN) dan swasta.
Mulai 1 April 2016 lalu, iuran JKN yang dikelola BPJS Kesehatan itu mengalami kenaikan. Ketentuan ini ditetapkan pemerintah dalam Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Direktur Hukum, Komunikasi dan Hubungan Antarlembaga BPJS Kesehatan, Bayu Wahyudi menerangkan bahwa peningkatan iuran bulanan ini merupakan modal prinsip gotong royong dalam bidang kesehatan.
Bukan Omong Kosong, Apalagi Endorse
Manfaat BPJS Kesehatan yang bisa dirasakan semua kalangan bukan sekadar slogan, apalagi endorse. Keluarga kami sangat bersyukur, pada Oktober 2015 lalu BPJS Kesehatan Permudah Adik Jalani Operasi, Saat Keluarga Kami Berjauhan. Kemudahan serupa juga dirasakan sejumlah kenalan, teman, maupun kolega.
Beberapa waktu, seorang teman yang kebetulan juga perantau jatuh sakit. Tidak ada saudara maupun keluarga yang tinggal sekota dengannya. Bermodalkan kartu BPJS Kesehatan dan bantuan orang-orang terdekat, ia dibawa ke dokter, lalu dirujuk untuk menjalani rawat inap di salah satu rumah sakit swasta di Kota Bandung.