Hidup sederhana sudah diterapkan kedua orang tua saya sejak menikah. Pola hidup sederhana yang mereka tanamkan ini diyakini akan berdampak positif di kemudian hari agar kami menjadi orang yang bijak dalam mengelola keuangan. Caranya adalah dengan mensyukuri pendapatan yang diterima setiap bulannya, mengatur pengeluaran dengan baik, menyisihkan perpuluhan dan mengusahakan saldo untuk masuk ke dalam tabungan. Saya tidak mengetahui dengan pasti kondisi saat itu karena saya memang masih kecil. Namun pola tersebut selalu diterapkan orang tua kepada anak-anak. Dari situlah saya mengetahuinya.
Jujur, mengatur keuangan secara pribadi baru benar-benar saya lakukan ketika saya kuliah di Kota Malang. Hidup seorang diri di perantauan membuat bocah lugu yang tadinya manja, harus mulai belajar pembukuan. Bukan pembukuan seperti salah satu materi dalam ilmu ekonomi melainkan memanfaatkan uang yang ada dengan sebaik-baiknya.
Tadinya kedua orang tua saya tidak memberikan saya fasilitas anjungan tunai mandiri(ATM) supaya saya selalu menyisihkan waktu dua minggu atau sebulan sekali untuk pulang. Maklum jarak kota asal dengan perantauan cukup dekat. Hanya membutuhkan waktu sekitar tiga jam menggunakan bis umum atau mobil pribadi. Bahkan cuma dalam waktu satu hingga dua jam, jika menggunakan sepeda motor. Namun karena padatnya kegiatan ekstra mahasiswa setiap akhir pekan membuat saya tidak bisa rutin pulang, akhirnya Mama dan Papa mempercayakan ATM. Mereka khawatir kalau saya tidak memiliki pegangan uang sehingga berpotensi mengalami kelaparan,sakit dan tidak bisa belajar dengan baik di kota yang berhawa sejuk itu. Lebih jauh, keresahan mereka muncul jika saya tidak dapat membeli buku-buku perkuliahan.
“Lu, meski kami memberikan fasilitas ATM, bukan berarti kamu bisa mengambilnya sesuka hati. Ingin beli ini, gesek. Ingin beli itu, gesek lagi. Bukan begitu ya! Kamu tetap harus pulang untuk mengambil uang saku bulanan. Gunakan ATM hanya dalam kondisi terdesak, kalau memang terpaksa sekali kamu tidak bisa pulang,” begitulah Papa menasehati perihal penggunaan ATM.
Jadi, jangan pernah membayangkan saya seperti mahasiswi di film televisi atau sinetron yang bisa berbelanja ke mall sesuka hati. Lebih jauh, Mama menjelaskan bahwa ATM hanya digunakan sebagai sarana transit uang SPP setiap semester. Setiap bulan, Mama menyisihkan pnesundi-pundi uang untuk ditransfer ke ATM saya. Pada bulan keenam, tabungan dikuras untuk membayar SPP. Bisa dibayangka?
Namun saya bersyukur, Tuhan masih menjaga saya dengan tidak membiarkan anak-Nya ini hidup ngenes di kota asing. Strategi Mama membawakan magic com dan beras putih setiap bulan memang sangat tepat! Memasak nasi sendiri menjadi salah satu cara melakukan penghematan. Sementara sayur dan lauk, saya dapat membelinya dengan harga terjangkau di warung-warung terdekat. Berhubung di rumah kos ada fasilitas kulkas, biasanya saya menyimpan makanan darurat yang dapat saya masak sendiri, seperti telur, sarden, nugget, dan sosis. Terkadang juga sayuran mentah. Besar pembelanjaan di aatas jauh lebih irit dibanding membeli nasi yang lengkap dengan sayur dan lauk, plus minuman. Dengan jurus ini, saya bersyukur masih bisa makan atau jajan bersama teman-teman di luar. Bahkan menyisihkan uang untuk ditabung, serta dibelanjakan pakaian, sepatu atau tas. Satu macam barang setiap bulannya. Lumayan kan?
Meninggalkan bangku perkuliahan, saya memasuki dunia kerja. Memiliki penghasilan sendiri tidak langsung membuat saya congkak seketika dengan menghambur-hamburkan uang sesuka hati. Sebaliknya, tidak lagi mendapat kiriman uang dari kedua orang tua justru membuat saya menyadari bahwa bekerja itu tidak mudah. Peluh keringat dan perasan otak sangat diperlukan untuk membayar setiap tetes air yang diteguk, setiap butir nasi yang ditelan dan setiap detik tubuh ini direbahkan di atas ranjang. Saya baru mengerti, mengapa Mama dan Papa selalu menasehati anak-anaknya untuk belajar dengan rajin sejak kecil. Tentu ini supaya buah hati tercinta dapat bekerja dengan layak sesuai kompetensi yang dimiliki, dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup.
Seiring berjalannya waktu, saya mulai bosan dengan hidup yang begini-begini saja. Berangkat pagi, bekerja di kantor, dan pulang ke kos. Sesekali saya hang out bersama teman-teman, entah pergi ke mall, shopping beragam produk yang sedang 'in', maupun ngopi-ngopi cantik di kafe-kafe kekinian. Saya juga bosan dengan yang namanya sistem kehidupan para karyawan. Awal bulan gajian, lalu mengalokasikan pembelanjaan sesampainya di rumah. Sesudahnya, bertahan hidup mengandalkan uang yang tersisa. Mungkin hal ini kelihatan menyedihkan, namun saya menikmati setiap prosesnya.
Titik jenuh membuat saya yang mudah bosan ini memikirkan satu hal. Investasi. Saya mulai berpikir untuk menyisihkan dana setiap bulannya untuk kepentingan jangka panjang. Saya berpikir tidak akan menjadi karyawan seumur hidup, apalagi saya menyadari peranan sebagai seorang wanita. Ya, sesuai kodratnya, seorang wanita akan menjalankan peran ganda yakni istri dan ibu. Kalau saya merangkap sebagai karyawan, ada satu peran lagi yang bakal saya sandang.
Ide untuk belajar berinvestasi tidak saya biarkan mengendap di dalam otak tetapi juga saya realisasikan.
Tahun 2014, saya mengikuti salah satu program tabungan berjangka di salah satu bank swasta di Indonesia. Nilainya tidak besar, jangka waktunya pun tidak terlalu lama. Yang saya tanamkan di dalam otak adalah kesadaran, ketekunan dan keajegan menabung secara rutin setiap bulan. Apalagi saya menyadari bahwa otak dan kinerja diri ini yang baru bisa berjalan dan bekerja dengan baik dalam situasi tertekan, hehehe.