Lihat ke Halaman Asli

Luana Yunaneva

TERVERIFIKASI

Certified Public Speaker, Hypnotist and Hypnotherapist

[My Diary] Terlalu Cepat Aku Menilainya

Diperbarui: 13 April 2016   23:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="Ilustrasi: Gadis yang sedang berpikir. (Sumber: media.yogajournal.com"][/caption]Dear, Diary

Sepulang mengurus beberapa berkas persyaratan pendaftaran mahasiswa baru program pascasarjana di kampus  tadi, akhirnya aku berangkat ke sebuah hotel yang menjadi lokasi gathering penulis. Tak ada niatan serius untukku menghadirinya. Tak lain dan tak bukan, kehadiranku itu hanya karena tidak enak alias sungkan dengan tawaran Kak Davin kemarin, Dear. Kamu belum lupa kan, kalo Kak David adalah lelaki tinggi dengan muka datar, tanpa ekspresi, yang kemarin kukenal di sebuah komunitas? Bagiku, menghadiri sebuah kegiatan untuk menghargai pihak yang mengundang, itu sama sekali bukan tindakan yang salah.

Awalnya aku nggak paham dengan rute menuju hotel tersebut. Maklum , kan aku masih awam dengan kota ini. Untung saja dia baik hati dan nggak sombong. Tanpa aku meminta, dia pun mengirimkan capture rute dari Google Maps untuk memudahkanku mencari lokasi gathering. Dengan bermodal nekat, aku pun berangkat. Takut kesasar, pasti. Tapi sudahlah, aku sudah terbiasa kesasar koq sejak kuliah sarjanaku dulu bersama Chita, sahabatku di kampus. Yang belum terbiasa adalah kesasar di hati seseorang dan tidak bisa keluar dari sana, eh…

Dan benar saja apa yang kutakutkan, Dear, aku kesasar! Hahaha… Aku salah mengambil belokan. Jadilah aku harus memutar arah dulu. Apesnya, jalanan macet! Komplitlah sudah ceritanya!

Begitu tiba di lokasi, kulihat jam tanganku. Pukul 17.15. Oh, my God! Aku terlambat seperempat jam. Betapa malunya aku! Datang terlambat di sebuah acara gathering saja sudah memalukan, apalagi kali ini aku mendapat undangan dari salah seorang penulisnya. Begitu pikirku.

Kawasan hotel yang tampak sepi, tidak banyak mobil dan sepeda motor yang diparkir di sana membuatku heran. Benar kan ini lokasinya? Sewaktu aku bertanya pada resepsionis, ternyata acara gathering digelar di salah satu aula di lantai dua hotel tersebut. Aku pun naik.

Dengan penuh keraguan, aku pun masuk. Keraguan itu karena aku merasa bukanlah siapa-siapa dibandingkan orang-orang yang hadir dalam gathering tersebut. Sewaktu pintu kubuka, dari kejauhan kulihat Kak Davin sedang mengajarkan sesuatu kepada beberapa anak muda. Kelihatannya sesama mahasiswa juga. Saat melihatku, ia menghentikan aktivitasnya menulis di whiteboard.

“Eh, Sylvana!” serunya sambil tersenyum. “Masuk, Syl!” Ia melambaikan tangannya kepadaku, mempersilakan masuk. Kemudian ia mempersilakanku duduk dan mengenalkanku kepada beberapa anak muda di situ yang ternyata merupakan murid-muridnya. Kami pun belajar bersama tentang dunia penulisan. Tidak hanya bersama Kak Davin tetapi juga ada Om Ronny, salah seorang dosen jurnalistik dari salah satu perguruan tinggi di kota ini.

Saat mengerjakan tugas penulisan cerpen dari Kak Davin tadi, aku sempat berpikir. Penilaianku tentangnya terlalu cepat kemarin. Kak Davin tidak selugu yang kukira. Ia memiliki pemikiran-pemikiran luar biasa yang tidak dimiliki banyak orang. Ketika banyak orang memilih untuk mengikuti tren, ia malah menentang arus zaman yang kini sudah mulai kacau. Ia berusaha mengubah dunia melalui buah pikir yang ia sampaikan melalui guratan pena. Atau lebih tepatnya ketikan tuts-tuts keyboard, jika sekarang orang cenderung enggan menulis dengan pena karena kecanggihan teknologi . Tidak mudah memang, Dear. Tapi dari sorot matanya, aku tahu, ada visi besar yang ingin dia wujudkan.

“Wah, kamu cepat juga ya menulisnya, Syl,” ujar Kak Davin membuyarkan lamunanku.

“Ini belum selesai koq, Kak. Baru pembukaan.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline