Energi merupakan isu yang cukup hangat untuk diperbincangkan. Hal ini terkait dengan adanya isu perubahan iklim yang memaksa berbagai negara di dunia untuk beralih pada sumber energi baru-terbarukan (EBT) yang lebih ramah lingkungan. Berbagai negara di dunia telah berkomitmen untuk mendukung peralihan tersebut, termasuk Indonesia. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mencapai terget bauran EBT sebesar 23% pada tahun 2025. Namun sayangnya, rencana ini mengalami kendala besar akibat merebaknya wabah COVID-19 yang mulai masuk di Indonesia pada tahun 2020. Sehingga pada tahun 2021, target bauran EBT yang dicapai Indonesia berdasarkan informasi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) baru terealisasi sebesar 11,5%.
Hal ini dikarenakan, pada masa pandemi berlangsung pemerintah memberlakukan berbagai kebijakan yang membatasi kegiatan-kegiatan di luar rumah, sehingga pengembangan dan pembangunan infrastruktur EBT menjadi terganggu. Hal ini semakin diperparah dengan berbagai masalah yang muncul dalam bidang energi, baik dalam skala nasional maupun internasional.
Tidak hanya itu, sampai saat ini pemerintah Indonesia masih mengalami kendala terkait pengembangan EBT yang terbatas dan belum adanya pembangunan infrastruktur yang masif dan tepat guna. Beberapa masaalah lain yang sempat terjadi pada tahun 2021-2022 ini (seperti: sengketa Laut Natuna Selatan, Konflik Rusia-Ukraina, dan Kelangkaan batubara domestik di Indonesia), memberikan pengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap pengembangan EBT.
Untuk mengejar target bauran EBT tahun 2025, Pemerintah Indonesia melalui KESDM, menyusun suatu Grand Strategi Energi Nasional (GSEN). Di dalam GSEN tersebut, pemerintah melakukan pemetaan rencana penambahan 38 GW pembangkit listrik EBT. Dimana, prioritas utama dari rencana tersebut adaalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Hal ini terutama berkaitan dengan keunggulan daari PLTS di antaranya, biaya investasi lebih murah, waktu pelaksanaan semakin cepat, dan sumber dayanya cukup melimpah di Indonesia. Upaya tersebut merupakan salah satu langkah yang diambil pemerintahan Indonesia untuk memastikan tercapainya NZE. Tidak hanya Indonesia, negara-negara lain di dunia juga mulai melakukan tindakan-tindakan strategis untuk mencapai NZE yang ditargetkan tercapai pada tahun 2050 oleh sebagian besar negara.
Dapat dikatakan bahwa transisi energi yang terjadi secara serentak di berbagai negara di dunia saat ini berjalan cukup lancar. Namun sayangnya transisi energi yang terjadi saat ini juga menimbulkan masalah-masalah baru di bidang energi untuk masa mendatang. Mengutip dari World Energy Outlook yang dikeluarkan oleh IEA, beberapa masalah tersebut di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Ketidaksesuaian investasi:
Transisi energi membawa perubahan besar dalam bauran energi primer dari bahan bakar intensif karbon menuju sumber energi rendah karbon. Meskipun pangsa bahan bakar fosil dalam campuran tetap sekitar 80% selama beberapa dekade, itu menurun menjadi sekitar 50% pada tahun 2050 di APS dan runtuh menjadi lebih dari 20% di NZE. Penurunan permintaan minyak dan gas di NZE cukup tajam menyebabkan tidak diperlukan pengembangan lapangan baru: pengeluaran yang berkelanjutan untuk mempertahankan produksi dari aset yang ada, dan mengurangi emisi terkait, mencapai rata-rata tahunan sebesar USD 210 miliar antara tahun 2020 dan 2050 pada tahun Selandia Baru. Selain itu, jumlah tahunan yang dibutuhkan untuk investasi adalah sekitar USD 680 miliar, jauh di atas level saat ini. Jika perusahaan dan investor salah membaca tren permintaan di tengah ketidakpastian tentang masa depan, ada risiko pengetatan pasar atau investasi berlebih yang mengarah ke aset yang kurang dimanfaatkan dan ditinggalkan.
Fakta bahwa tidak ada ladang minyak dan gas alam baru yang diperlukan di NZE tidak berarti bahwa membatasi investasi di ladang baru akan mengarah pada hasil transisi energi dalam skenario ini. Jika permintaan tetap pada tingkat yang lebih tinggi, ini akan mengakibatkan pasokan yang ketat di tahun-tahun mendatang, meningkatkan risiko harga yang lebih tinggi dan lebih bergejolak. Tidak jelas apakah harga yang lebih tinggi akan memicu respons pasokan pada tingkat yang sama seperti di masa lalu. Oleh karena itu, dorongan kebijakan yang kuat untuk mengurangi permintaan minyak dan gas sejalan dengan lintasan yang dibayangkan di NZE adalah kunci untuk mencapai pengurangan emisi yang dalam dan meminimalkan risiko pengetatan pasar.
2. Desain pasar dan infrastruktur dalam sistem yang semakin terintegrasi:
Kebanyakan tantangan keamanan energi baru di dunia adalah dekarbonisasi yang muncul di sektor listrik karena masyarakat semakin bergantung pada listrik untuk kebutuhan energi mereka. Di semua skenario, pangsa variabel energi terbarukan dalam pembangkit listrik meningkat hingga mencapai 40-70% pada tahun 2050 (dan bahkan lebih di beberapa wilayah), jauh di atas rata-rata global yang hanya di bawah 10% saat ini. Sektor energi saat ini pada dasarnya adalah serangkaian saluran pengiriman bahan bakar, panas, dan listrik yang saling terkait tetapi sebagian besar independen kepada konsumen. Sistem energi masa depan terdiri dari jaringan interaksi yang jauh lebih kompleks antara bahan bakar padat, cair dan gas, dan listrik. Di NZE pada tahun 2050, sekitar 40% energi primer diubah setidaknya dua kali sebelum mencapai pengguna akhir. Energi bergerak melalui baterai dan elektroliser, mengalami konversi dari listrik menjadi panas atau bahan bakar, dan kembali lagi. Kebutuhan akan fleksibilitas seperti itu di NZE cukup besar: penyimpanan baterai skala utilitas meningkat dari kurang dari 20 GW pada tahun 2020 menjadi lebih dari 3.000 GW pada tahun 2050, dan ada jutaan pendukung fleksibilitas di balik meteran, dalam bentuk smart meter, EV, dan infrastruktur pengisian daya.