[caption id="attachment_168615" align="aligncenter" width="640" caption="ilustrasi/admin(shutterstock.com)"][/caption] Di akhir bulan Januari lampau ada beberapa artikel di media yang meliput sistem akreditasi jurnal secara daring yang diluncurkan Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan (Pusbindiklat) Peneliti LIPI. Meski jelas topik ini tidak menjadi berita hot untuk awam, terbukti dengan liputan media yang adem ayem. Karena memang hanya terkait dengan komunitas yang merupakah segelintir minoritas di republik ini, yaitu peneliti. Bahkan untuk akademisi di Perguruan Tinggi (PT) juga tidak ada kaitannya. Karena minimal sampai saat ini di Indonesia masih terjadi dualisme sistem akreditasi jurnal ilmiah lokal, yaitu yang diselenggarakan oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DP2M), Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemdikbud sejak belasan tahun lalu, serta oleh Pusbindiklat Peneliti LIPI sejak beberapa tahun lalu.
Pada prakteknya, pengelola jurnal lokal yang diterbitkan PT cenderung mengajukan akreditasi ke DP2M Dikti, sedangkan yang diterbitkan oleh lembaga penelitian ke Pusbindiklat LIPI. Hal ini terjadi karena status akreditasi sangat menentukan angka kredit dari artikel-artikel ilmiah yang diterbitkan di jurnal-jurnal tersebut. Meskipun ada norma (tidak tertulis ?!) bahwa kedua akreditasi saling mengakui, pada prakteknya pemberian angka kredit bagi dosen / peneliti seringkali tidak konsisten akibat perbedaan persepsi atas status registrasi jurnal ini.
Saya pribadi tidak pernah ambil pusing dengan kemelut ini, karena sejauh ini saya belum pernah mempublikasikan karya tulis di jurnal lokal. Meski sebenarnya ada beberapa artikel yang diterbitkan di jurnal lokal, tetapi semuanya sebagai suplemen dari konferensi lokal dimana saya diundang untuk memberikan presentasi.
Penulisan blog ini khususnya dipicu oleh artikel di harian Republika (3 Februari 2012) berjudul Jurnal Ilmiah Indonesia Go Internasional. Lepas dari apakah wartawan yang meliput telah dengan benar mengutip nara sumber atau tidak, saya jamak sekali mendengar secara langsung pendapat serupa yang dilontarkan bahkan oleh para Profesor ataupun Profesor Riset. Bahkan benar-benar ada program resmi pemerintah (Kemdikbud) untuk meng-internasional-kan jurnal lokal. Terus terang pendapat-pendapat semacam ini sangat memprihatinkan diri saya, karena sedikit banyak ini menunjukkan dimana level komunitas ilmiah kita saat ini...
Dilain pihak banyak sekali saya mendengar keluhan para dosen / peneliti yang mendapat 'bonus potongan' angka kredit karena karya tulisnya diterbitkan di jurnal global, tetapi tidak diakui sebagai jurnal global. Meski saat ini banyak sekali jurnal 'global' yang 'tidak jelas', tetapi banyak kasus publikasi di jurnal yang jelas diindeks global serta diakui komunitas terkait (memiliki faktor impak signifikan) tetapi diragukan ke-global-annya. Juga terkait dengan polemik kewajiban publikasi di jurnal bagi mahasiswa S1-S3 seperti telah saya ulas di Kewajiban publikasi di jurnal untuk kelulusan mahasiswa : bagus tetapi... satu hari lalu.
Sebagai catatan, saya sendiri baru mengajukan fungsional peneliti pada tahun 2010 dan menyandang status peneliti secara resmi sejak Oktober 2010. Mungkin sebagian ajuan angka kredit saya juga mengalami masalah semacam itu, tetapi saya tidak pernah memperhatikan hal tersebut karena saat itu saya mengajukan fungsional sekedar untuk mengikuti regulasi sebagai sivitas lembaga penelitian. Sehingga saya tidak terlalu peduli dengan berapa banyak 'diskon angka kredit' yang saya peroleh...;-). Kalaupun banyak dipotong, saya malah bersyukur karena berarti saya masih harus terus dan malah lebih giat publikasi... Jadi, artikel ini bukan untuk komplain atas masalah pribadi saya. Komplain masalah pribadi di depan umum adalah sesuatu yang belum pernah dan selalu saya hindari, dan terlebih saya tidak suka diposisikan sebagai manusia teraniaya seperti ulasan di Keteraniayaan peneliti dan brain drain. Tetapi ini adalah murni bentuk keprihatinan dan calon solusi yang bisa saya berikan untuk mengatasi masalah yang sangat mendasar di dunia riset di Indonesia.
Mengapa ?
Mengapa saya tidak pernah mengirimkan artikel ke jurnal lokal ? Semua bermula dari tujuan dasar mengapa kita harus mempublikasikan karya tulis seperti telah saya ulas di Peneliti = Pembuat Inovasi = Produsen HKI. Karya tulis ilmiah di jurnal merupakan salah satu bentuk keluaran utama kegiatan riset, dimana karya tersebut sekaligus diakui sebagai HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual) atas invensi yang telah dilakukan. Sebuah HaKI, seperti juga produk di berbagai bidang, memiliki makna dan bisa laku atau tidak tergantung pada dimana produk tersebut dijual atau dipajang. Sama seperti fenomena mengapa kios di lantai dasar berharga lebih mahal daripada di lantai teratas, visibilitas dan aksesibilitas merupakan salah satu faktor utama yang menentukan nilai dari suatu produk, terlepas dari proses produksi dan substansi produk itu sendiri.
Sehingga ukuran dasar dari pengakuan atas sebuah jurnal adalah aspek visibilitas, artinya seberapa jauh sebuah jurnal dibaca oleh komunitasnya. Di era internet saat ini, ukuran visibilitas ini kemudian diterjemahkan sebagai aksesibilitas, karena praktis tidak ada visibilitas tanpa kemampuan diakses melalui internet. Disinilah poin utama dari indeks global atas jurnal-jurnal yang ada, sehingga sangat beralasan bila salah satu indikator pertama jurnal global adalah 'apakah jurnal tersebut diindeks secara global' ? Perlu ditegaskan disini bahwa yang penting adalah kriteria jurnal global, dan BUKAN jurnal internasional, artinya jurnal yang secara global diakses oleh komunitasnya. Dengan istilah ini tidak relevan mendiskusikan jurnal regional, nasional dan internasional. Yang ada adalah jurnal lokal dan global yang ditentukan oleh aksesibilitas serta seberapa jauh jurnal tersebut diakses !
Dengan cara pandang diatas, sangat mudah untuk menentukan kriteria sebuah jurnal bisa digolongkan sebagai jurnal global atau tidak. Yaitu (diurutkan dari prioritasnya) : Merupakan terbitan berkala, ditunjukkan dengan registrasi nomor ISSN (International Standard of Serial Number).Untuk Indonesia, ISSN dikelola dan diterbitkan oleh Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (PDII) LIPI. Sistem registrasi dan layanan telah dilakukan secara daring penuh sejak tahun 2008, sehingga sangat mudah dan cepat. Yang perlu diingat : nomor ISSN harus diajukan untuk setiap media yang berbeda meski jurnalnya sama. Artinya bila ada versi elektronik harus diajukan 2 nomor ISSN, satu untuk media konvensional serta lainnya untuk media elektronik yang sering disebut e-ISSN. Saat ini semua jurnal hampir bisa dipastikan memiliki nomor ISSN, dan secara resmi ini juga menjadi syarat utama sebuah jurnal bisa diakreditasi. Jurnal bisa diakses secara daring.Akan lebih bagus bila dikelola secara daring penuh memakai sistem manajemen konten serta diletakkan di pusat data dengan kapasitas lebar pita memadai. Karena akses ke jurnal cukup memakan kapasitas lebar pita, terlebih bila naskah lengkap dibuka dan bisa diunduh. Ini sebenarnya cukup mudah direalisasikan memakai perangkat lunak terbuka seperti Open Journal System (OJS). Tetapi masalah kehandalan akses merupakan faktor yang umumnya berada diluar jangkauan pengelola jurnal. Untuk itu LIPI sejak tahun 2002 telah membuka fasilitas sistem manajemen konten untuk jurnal daring di Jurnal Online untuk para penerbit jurnal di Indonesia dimana seluruh infrastruktur perangkat keras dan lunak disediakan cuma-cuma, sehingga penerbit jurnal cukup bermodal akses internet saja. Berbeda dengan OJS, Jurnal Online LIPI menyediakan sistem penerbitan jurnal yang jauh lebih lengkap dan mengakomodasi aneka kebutuhan lokal, mulai dari seluruh sistem publikasi ilmiah (pengiriman artikel sampai dengan penerbitan) serta fitur-fitur lokal seperti menerbitkan sertifikat bagi pihak terkait (penilai, editor), statistik yang bisa dipakai untuk sistem penghonoran dan sebagainya. Selain itu sistem yang dikembangkan tidak dibuka sebagai sumber terbuka untuk menjamin keamanan dan kehandalan. Bisa diakses secara berkelanjutan, ditunjukkan dengan nomor DOI (Digital Object Identifier) yang diterbitkan oleh DOI System.Berbeda dengan ISSN yang sudah dikenal luas, DOI masih sangat sedikit dikenal, bahkan oleh para senior peneliti / akademisi. Tidak heran di regulasi penentuan angka kredit saat inipun nomor DOI belum diakui. Malah diwajibkan untuk mencatumkan alamat situs artikel...;-(. Padahal nomor DOI sejatinya adalah alamat situs artikel yang permanen, karena merupakan alamat penerusan ke alamat situs yang sebenarnya dari penerbit artikel. Sehingga setiap artikel online bisa diakses memakai nomor DOI-nya dengan http://dx.doi.org/nomor_DOI. Inilah makna dari akses permanen meski artikel 'hanya' diterbitkan secara elektronik. Dengan ini tidak ada ketergantungan atas perubahan alamat situs penerbit yang mungkin berubah-ubah.Sejauh pengamatan saya, di Indonesia belum ada penerbit jurnal yang telah teregistrasi dan memiliki nomor DOI. Tentu saja di Indonesia juga belum ada Registration Agency (RA), meski ini tidak perlu karena setiap penerbit bisa melakukan registrasi ke RA manapun. Poin ini berbeda dengan ISSN yang wajib registrasi di National Agency terdekat. Meski berbayar, sebenarnya biaya untuk mendapatkan nomor DOI ini relatif sangat murah, bila melalui RA CrossRef, biayanya hanya US$ 275 / tahun untuk penerbit dengan omzet dibawah US$ 1 juta / tahun. Semua penerbit jurnal di Indonesia bisa dipastikan masuk kategori ini. Sebaliknya kepemilikan atas nomor DOI menunjukkan tingkat keseriusan pengelolaan sebuah jurnal. Terindeks secara global.Untuk saat ini indeks global yang cukup diakui adalah : ISI Thomson, Scopus serta Copernicus. Indeks global tersebut ada yang berbayar seperti ISI Thomson (sangat mahal), atau cuma-cuma seperti Copernicus. Tetapi perlu diketahui indeks global seperti Google Scholar tidak bisa dimasukkan kriteria ini karena tidak menyediakan analisa data publikasi sehingga tidak bisa dipakai sebagai acuan yang komprehensif. Aspek berbayar atau tidak menentukan tingkat kesahihan hasil analisa data, karena yang tidak berbayar secara umum tidak memberikan garansi atas kesahihan data. Itulah sebabnya faktor impak dari ISI Thomson bisa menjadi acuan global, karena diperoleh dari data yang terjamin akurasinya. Sebab ISI Thomson melakukan data ulang referensi dari semua artikel yang diterbitkan, dimana ini menjadi sumber data utama untuk menentukan faktor impak sebuah artikel serta jurnal yang menerbitkannya. Faktor impak.Angka ini secara umum menunjukkan tingkat dampak dari sebuah artikel ilmiah, serta jurnal yang menerbitkannya. Sebenarnya banyak sekali indeks yang telah dikembangkan selain faktor impak, seperti H-index. Tetapi dengan segala kekurangannya, faktor impak dianggap cukup mewakili tingkat dampak sebuah jurnal selama memperhatikan : komparasi faktor impak harus dilakukan untuk jurnal-jurnal dalam satu bidang ilmu. Karena setiap bidang memiliki karakteristik yang sangat berbeda, sehingga faktor impak yang sama untuk jurnal di bidang sosial dan kedokteran memiliki makna yang sangat berbeda !Sayangnya seperti diulas diatas, untuk masuk sebagai jurnal yang diindeks oleh ISI Thomson dan mendapatkan faktor impak biayanya cukup besar, selain ada pra-syarat dan seleksi yang cukup ketat dari ISI Thomson. Copernicus sekalipun memberlakukan syarat-syarat yang cukup ketat untuk dimasukkan dalam daftar indeks. Syarat-syarat dasar yang harus dipenuhi minimal adalah poin 1-3 diatas.
Bagaimana dengan jurnal terbitan lokal ?
Dari penjelasan diatas sebenarnya sudah jelas bahwa sebuah jurnal akan 'dipandang dan diakui' (oleh komunitas terkait) sebagai jurnal global tergantung pada penilaian komunitas global di bidang terkait. Jadi tidak ada hubungannya sama sekali dengan regulasi atau badan akreditasi manapun ! Sistem akreditasi seyogyanya hanyalah menjaga 'standar minimum' yang harus dipenuhi sebuah terbitan berkala agar bisa dikategorikan sebagai jurnal ilmiah.