Lihat ke Halaman Asli

Peradaban dan Budaya Kekerasan Menyoroti Kasus Porto-Haria

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Derasnya arus perjuangan serta tuntutan penegakan hak asasi manusia (HAM) dan demokratisasi telah merambah ke seluruh sendi kehidupan masyarakat Indonesia termasuk Maluku. Namun kekerasan masih terus terjadi dan menggejala di sekitar kita. Berbagai upaya mengatasinya gencar dilakukan namun belum menyentuh ke esensi permasalahan. Isu kekerasan terus melaju seiring dengan tuntutan masyarakatgrass root yang kian menuntut adanya perubahan yang berujung pada nilai-nilai keadilan, kejujuran, toleransi, kedamaian, serta penegakan hukum yang berdimensi keadilan, sebagai isu pokok yang harus disikapi oleh segenap komponen bangsa.

Gelora 196 tahun memperingati hari lahirnya pahlawan nasional asal Maluku Thomas Matulesi atau yang dikenal dengan Pattimura telah membangkitkan semangat perjuangan rakyat Maluku untuk bangkit dan mengejar ketertinggalan di segala sektor pembangunan. Sejalan dengan itu sejarah peradaban rakyat Maluku telah melahirkan embrio nasionalisme yang hingga kini tetap kokoh dalam persatuan di tengah kebhinekaannya.Kasus pertikaian antara masyarakat Desa Porto dan Haria, Kab. Maluku Tengah yang hingga kini bagaikan api dalam sekam termasuk salah satu budaya kekerasan yang sangat memprihatinkan banyak pihak, karena kekerasan terus terjadi dan menggejala ke seluruh masyarakat ke dua desa. Budaya kekerasan terjadi bukan tanpa sebab, indicator pemicunya adalah kinerja birokrasi yang kurang professional, inkonsistensi, dan lemahnya komitmen, serta bentuk penanganan yang belum terintegrasi (Integrated solveng). Hal ini bisa berdampak pada anggapan (image) negative masyarakat bahwa telah terjadi pembiaran oleh aparat khususnya terkait penanganan kasus Porto dan Haria, yang berbuah konflik berkepanjangan.

Peradaban Masyarakat Maluku.

Maluku sampai saat ini dikenal sebagai daerah yang masih memegang teguh budaya pela gandong sebagai perekat hubungan persaudaraan. Hal inilah yang membedakan budaya Maluku dengan budaya masyarakat Indonesia di lain daerah.

Menyoroti peradaban yang ada di masyarakat Maluku masih dihiasi segelintir budaya kekerasan yang tidak mencerminkan nilai-nilai luhurbudaya bangsa. Kekurang-tegasan aparat dan inkonsistensi menindak tegas pelaku criminal yang berlindung di balik kelompok suku dan adat tertentu, praktek ketidakadilan, dan pelanggaran hak asasi manusia, memberi andil terus terjadinya kekerasan yang menggambarkan kian menyimpangnya cita-cita luhur mewujudkan peradaban bangsa. Peradaban luhur Pancasila kian terkikis. Hal ini dicermati sebagai hal yang sangat ironis. Bagaimana mungkin gaung bangsa yang dikenal santun, religius, ramah, dan gotong royong, berubah perangai menjadi anarkhis, sadis, sinis, arogan, memaksakan kehendak, mengabaikan dialog dan musyawarah. Perilaku munafik semakin merendahkan integritas bangsa dan mendorong lahirnya kekerasan.

Membangun Peradaban Unggul.

Fenomena di atas hanya menghambat pembangunan karakter bangsa (Nation building development). Konflik horizontal yang tidak diatasi secara professional niscaya akan menggoyahkan terjadinya kehancuran bangsa dalam wadah NKRI. Berbagai konflik yang terjadi mengindikasikan lemahnya bangunan peradaban. Terjadinya inkonsistensi komitmen menyelaraskan ideologi, budaya dan nilai-nilai spritualitas telah melahirkan brutalitas.Sudah saatnya melakukan perubahan, menyongsong komitmen kebangkitan Maluku. Melibatkan seluruh komponen masyarakat, menuju bangsa berperadapan modern, demokratis, menegakkan supermasi hukum, dan HAM. Untuk itu pilar penyelenggara tata pemerintahan yang baik (good govement) harus diwujudkan, memelalui beberapa alternative acuan dasar, yaitu:

Pertama, pilar Negara, Pemerintah daerah dalam hal ini Gubernur dan Bupati Maluku Terngah bersama aparatnya bersinergi mewujudkan perlindungan yang proporsional dan professional. Ketidakadilan dan perilaku kekerasan yang terjadi di P.Saparua harus dikikis, agar luka-luka batin yang menganga sebagai dampak psykologis dapat segera terobati.

Kedua, pilar organisasi masyarakat di Maluku, harus seimbang dan harmoni, dalam upaya mendukung kebijakan pemerintah melalui kersadaran hukum yang tinggi dan mampu membantu membangun forum komunikasi serta pemecahan masalah di antara anggota masyarakat.

Ketiga, mewujudkan pemerintah yang menegakkan keadilan, supermasi hukum, demokrasi, dan menjunjung tinggi akuntabilitas. Merupakan langkah konkrit pemerintah dalam membangun peradaban dan menghalau kekerasan.

Terkait dengan uraian di atas maka, disadari bahwa bangsa ini harus segera bangkit mengendalikan diri menuju bangsa yang berperadaban. Sebagaimana cita-cita luhur founding father. Mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai NKRI. Sebagai langkah merealisir masyarakat demokratis, berkepribadian Pancasila. Tantangan bersama untuk mewujudkan bangunan peradaban luhur, yakni dengan mengeliminir budaya kekerasan, mendorong komitmen tinggi terhadap tumbuhnya peradaban yang kokoh dalam mengikis kekerasan, demi keutuhan bangsa dalam bingkai NKRI.


Artikel ini disadur dari artikel aslinya atas izin resmi dari pemilik website lsmpedulimaluku.tk sebagai sarana publikasi atas kegiatan yang telah dilakukan oleh LSM Peduli Maluku.

Follow @LSMPeduliMaluku

Sumber : http://www.catatan-alifuru.tk/2013/12/peradaban-dan-budaya-kekerasan.html

Copyright : http://lsmpedulimaluku.tk


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline