Lihat ke Halaman Asli

Komentar

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)

Potensi alamiah yang barangkali dimiliki oleh semua manusia adalah kemampuan untuk “mengomentari” –memberikan komentar. Sejurus dengan itu, saya sepakat dengan ungkapan lugas yang dituturkan “teman kecil” saya. Katanya, hidup itu yang paling enak adalah melihat dan mengomentari. Dalam bahasa jawa diistilahkan, nyawang lan maidho. Padahal, komentator belum tentu mampu melakukan hal serupa dengan yang ia komentari.

Rabu (28/11/12) sore, saya dan teman-teman pesantren menyaksikan pertandingan seru Indonesia vs Singapura. Beruntung, Indonesia berhasil memenangi pertandingan tersebut. Menariknya adalah, ketika timnas Indonesia melakukan kesalahan kecil (dan bahkan besar) komentar miring dan memojokkan bermunculan. Komentar itu tidak keluar dari satu mulut saja tetapi dari mayoritas penonton.

Benar bahwa komentar itu terucap lebih dari dorongan spontanitas. Bahwa pada hakikatnya saya dan teman-teman saya ingin timnas tampil baik dan memenangi laga sore itu. Tetapi masalahnya, rasa empati sama sekali tidak hadir dalam benak banyak komentator. Bagaimana suasana sebuah pertandingan yang sesungguhnya tidak menjadi pertimbangan. Jadilah, kesalahan timnas menjadi bahan gunjingan di sana-sini.

Sebuah pertandingan sepak bola yang disiarkan stasiun televisi biasanya dihantarkan oleh prolog MC dan seorang atau dua orang komentator. Ketika pertandingan berlangsung komentar dari MC dan komentator tadi menghiasi ruang dengar pemirsa. Dan hal itu yang membuat layar televisi tidak tampak monoton. Ini menunjukkan bahwa hidup tanpa komentar memang tidak menarik alias just so so.

Saya sering memberikan apresiasi positif terhadap tulisan beberapa teman. Setelah teman saya membaca komentar tersebut, ia masih meminta saya untuk memberikan masukan (kritis). Fenomena sederhana ini membuktikan bahwa –memang– komentar yang baik justru adalah “yang tidak baik”. Dari situ kemudian orang yang dikomentari akan belajar menjadi lebih baik. Sayangnya, tidak semua orang siap dengan komentar yang demikian.

Memberikan komentar itu sekali lagi memang perkara yang mudah. Ibaratnya, meminjam istilah kiayi saya, komentator itu posisinya di atas angin. Kata kiayi saya, yang pernah menilai karya tulis ilmiah saya: seandainya saya harus menilai karya professor sekalipun dalam sebuah perlombaan ya saya akan tetap “menjatuhkannya”. Sebab, juri yang berhak mengomentari karya itu berada di atas angin.

Masalah komentar-mengomentari akan lebih menarik kalau ditarik dalam dunia literasi. Banyak karya ilmiah yang isinya adalah komentar (kritikan, berwujud studi kritis) terhadap karya ulama’ klasik, misalnya. Padahal kalau boleh jujur, kapasitas komentator jauh di bawah ulama’ tersebut dalam hal keilmuan, pengalaman, apalagi pengamalan. Ini adalah mengadili orang yang tidak mampu menjawab (in absentia). Tapi itulah realitas akademik.

Bertalian dengan pemaparan singkat di atas kita perlu menempati posisi yang tepat ketika harus memberikan komentar. Terkadang, kondisi memang memaksa kita untuk memberikan sebuah komentar. Saat memberikan komentar kita harus sadar bahwa kita sendiri adalah obyek yang juga mungkin dikomentari, dirasani, oleh siapapun. Jangan sampai banyak berkomentar tapi tidak siap menjadi obyek komentar. Saya juga kadang begitu. []




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline