Lihat ke Halaman Asli

Surat dari Perancis

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belajar dari Perancis, Negara zero tolerance

Kalau hari ini misalnya media di Indonesia ribut soal kedatangan Lady Gaga dan FPI, dengan mengutip komentar pejabat atau orang penting tentang topic panas tsb, saya hanya berpikir kok masih ada energi ya buat menanggapi permasalahan gak penting, atau setidaknya minor dari permasalahan penting di masyarakat indonesia saat ini. Hari ini, adalah hari pertama di bulan juni, tidak terasa 20 hari lagi kami akan memasuki musim panas. Pemilu di Perancis baru saja usai, proses kampanye dan pemilu hingga akhir berjalan tertib dan damai, paling tidak itu hasil pengamatan saya. Soal hasilnya yang tidak bisa memuaskan semua pihak dan caci maki kritik (bukan kripik) pedas di media soal pemerintahan dan presiden yang sekarang, menurut saya justru menjadi tanda sebuah masyarakat yang mapan dan matang berdemokrasi.

Tulisan hari ini terinspirasi dari kunjungan ibu saya ke Perancis dua bulan ini. Hari ini adalah hari terakhir ibu saya di Prancis, dimana tadi siang saya mengantar ibu saya ke airport dan perjalanan pulang dua jam dengan bus dan kereta di peak hours (jam pulang kerja), saya mengambil sebuah hikmah dan kesimpulan dari beberapa peristiwa yang terjadi beberapa waktu ini. Besok sore waktu indonesia barat, ibu saya akan tiba di Jakarta dan saya yakin jika ditanya oleh sanak saudara, “ Bagaimana Perancis?” Saya yakin ibu saya akan menjawab seperti komentar begitu banyak wisatawan dunia tentang Perancis, “ I love france, but absolutely not the French!!!”

Saya yang sudah mulai beradaptasi dengan kebiasaan orang Prancis mau tidak mau terkadang mulai membela komentar sinis ibu saya soal kebiasaan dan attitude orang Perancis. Ya itu dia, sikap mereka yang individualis dan tidak mengenal toleransi. Kalau saja Anda menemukan toleransi, itu kebetulan dan selamat Anda sedang beruntung, dan bisa jadi loh, toleransi itu tidak datang dari penduduk asli. Saya berharap tulisan ini tidak berkesan rasisme atau negatif karena disini justru saya berusaha mengangkat  sisi positif dari zero tolerance ini. Segalasesuatu berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat di Perancis, diatur secara jelas, transparan dan tegas. Tidak heran jika di perancis sendiri sering sekali kita dengar persoalan administratif yang birokratif, berbelit-belit dan memakan waktu. Maklum saja, Perancis adalah negara eropa dengan wilayah terluas dan terbanyak penduduknya, dan semua penduduk memiliki hak yang sama. Masyarakatnya pun terbiasa mengantri dan berdesakan ketika berada dan menggunakan fasilitas publik.

Disini saya ingin membandingkan sedikit dengan kondisi masyarakat Indonesia, meski tidak adil, karena dari usia sejarah negara saja Indonesia jauh dibelakang Perancis. Saya sama sekali tidak bertujuan merendahkan bangsa saya sendiri, tapi justru bermaksud mengajak untuk belajar dan berubah, paling tidak sebagai generasi muda, saya ingin berbagi pemikiran. Saya mengamati bahwa salah satu kebiasaan dan mungkin sudah menjadi budaya yang kemudian menjadi akar dari kolusi korupsi dan nepotisme adalah, kebiasaan untuk membeli kenyamanan dan budaya toleransi. Saya masih ingat dari kecil sudah ditanamkan oleh penataran p4 bahwa sikap yang paling penting sebagai bangsa indonesia adalah memelihara dan menjaga to le ran si. Entah itu beragama, berpolitik atau dalam kehidupan sehari-hari yang paling sederhana misalnya budaya kita yang selalu berusaha memahami anak kecil, dan selalu menghormati orang yang lebih tua.

Namun ada beberapa peristiwa yang tidak bisa saya lupakan kemudian mengantarkan saya pada tulisan saya hari ini. Suatu hari ketika menaiki bus shuttle dari airport, seorang ibu dengan dua anak kecil, sekitar 4 tahun dan 2 tahun kartu kreditnya tidak bisa digunakan untuk membeli tiket bus. Hari itu hujan deras, supir bus menyuruh ibu dan anaknya untuk turun dan mencoba membeli tiket dengan cara lain dan mengambil bis berikutnya. Bagasi yang seabrek-abrek kemudian diturunkan, seorang turis dari Italy dengan bahasa Inggris kemudian bertanya berapa harga tiket yang harus dibayar ibu itu, lalu supirnya menjawab “Do not worry, they are going to be ok.” Saya dan ibu saya yang sempat berpikiran sama, tapi mengurungkan niat karena saya masih trauma diperlakukan ‘tanpa toleransi dan kasihan’ oleh orang Perancis jadi tidak sigap kemudian merasa perlu menolong kemudian merasa tertohok-tohok, apalagi saya juga punya anak seumuran. Kali berikutnya, ketika akan naik ke kereta, saya dan ibu saya selalu berusahalebih cepat sehingga bisa memilih posisi duduk yang tidak perlu berhimpitan dan bersinggungan. Hari itu dari Paris menuju Chartres, saya memilih dua kursi di pojokan dekat toilet, pikir saya tidak bakal ada yang mau nyempil lagi. Hingga, datanglah sepasang suami istri dengan kereta bayinya, yang sudah menguasai 4 tempat duduk di samping kami dengan belanjaan dan tas bayi, eh masih juga kemudian memarkir kereta bayingnya tepat di depan saya dan ibu saya. Akhirnya saya yang kakiknya kejepit harus mengajak ibu saya pindah, dan dengan manis mempersilahkan ibu bayi duduk di tempat saya, biar gampang toh, dan pastinya mereka berterima kasih dan menjawab, “ Terima kasih, Anda baik sekali.” Dalam hati saya yang meski iklas entah mengapa merasa terjajah, nasib di perantauan.

Beberapa contoh shock culture dari ibu saya dan masih juga saya alami sendiri, yaitu ketika kami melakukan perjalanan mengunjungi beberapa kota di Prancis. Ibu saya yang tidak biasa naik turun kendaraan umum, lalu belum lagi berjalan kaki kesana kemari hingga mengangkat koper dan bersesakan di transportasi umum, tampaknya cukup trauma dan memutuskan untuk berangkat ke airport dengan taxi hari ini. Perjalanan pertama ibu saya yang berkesan yaitu ketika harus lesehan di kereta karena tempat duduknya dipakai orang. Saya yang sudah cukup berdebat mempertahankan kursi saya, meski harus teriritasi berhadap-hadapan dengan orang yang duduk di kursi ibu saya, kemudian merasa sebal dengan ibu saya yang tidak mau ikutan ngotot dan kemudian memutuskan untuk lesehan. Peristiwa seperti ini bahkan terjadi di atas pesawat. Sebuah maskapai kelas eknomi low budget, bahkan meski memberi nomor kursi, membebaskan penumpangnya untuk memilih tempat duduk sendiri. Alhasil, saya dan ibu saya duduk terpisah, di barisan paling belakang. Lalu kejadian-kejadian berikutnya sudah bisa ditebak, berdiri di bus karena anak muda lebih memilih menaruh kakinya dibanding mempersilahkan ibu saya ataupun orang tua lain untuk duduk, lalu kotoran anjing di sepanjang trotoar yang sempit, hingga muda-mudi yang cipokan di stasiun dan antrian check in airport sepertinya bukan puncak dari shock culture ibu saya selama mengunjungi Perancis. Setibanya giliran ibu saya untuk check in tiket pesawat hari ini, ibu saya yang kelebihan bagasi harus membongkar isi kopernya dan mengeluarkan sebagian isinya, karena saya dengan keras menolak ibu saya membayar extra bagasi. Seorang ibu penumpang lain orang Indonesia tampak memandang saya dengan sinis yang berdebat dengan ibu saya, dan pasti pikirnya “Duh, nih anak judes banget dengan orangtua.” Permasalahannya, dari rumah ketika packing, saya sudah mengingatkan bahwa peraturan di Prancis ketat, dan tidak ada toleransi, dengan senyum termanis sedikit pun. Jika di Indonesia human resource-nya mengandung kadar toleransi dan korupsi tertentu, bahkan dengan aparat sekali pun, tidak demikian dengan di Perancis. Semua peraturan ditulis dengan jelas, di sosialisasikan secara terbuka, pelaksanaannya diawasi dan sanksinya jelas. Sekali lagi selalu dengan penekanan, demi kebaikan kita sendiri. Ibu saya tampaknya belum kapok dan harus pulang dengan mengelus dada karena separuh oleh-olehnya saya bawa pulang ke rumah.

Ketidak-toleransi-an seseorang bisa jadi memberikan ketidaknyamanan bagi kita, tapi bisa jadi menjamin ketertiban dan kepentingan orang banyak. Sekali lagi pilihan ditangan kita, apakah dengan memberikan kenyamanan bagi orang lain kita kemudian merasa telah berbuat baik dan berharap mendapatkan balasan entah di bumi atau di akhirat? Atau sebaliknya, bersikap cuek bebek dengan berpikir bahwa life is hard so you better play hard. Paling tidak, saya bermain aman saja deh, “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung,”France, i am staying.

Chinta, 1 Juni 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline