Entah di media sosial ataupun kehidupan sehari-hari, kadang kita temui banyak berita wanita menjadi korban penipuan karena ulah laki-laki. Para korban ini mulanya hanya sekedar simpati melihat penampilan pria yang baru saja dikenalnya. Perkenalan yang bisa terjadi dimana saja. Dari perkenalan tersebut lalu berlanjut dengan hubungan semakin dekat.
Akhirnya kena terbujuk rayu dan terhipnotis oleh kegantengan serta kesantunannya, hingga tanpa sadar rela menyerahkan segalanya. Memberikan harta benda bahkan kehormatan yang dimiliki wanita. Terbius oleh janji manis yang ditebarkan, setelah semuanya ludes dipereteli, lantas pria ini kabur meninggalkannya. Kalaupun terpaksa mau dinikahi, kemungkinan dijadikan istri yang nomer sekian.
Modus seperti ini sudah banyak dilakukan oleh laki-laki yang memanfaatkan modal fisiknya sekedar untuk tujuan menyalurkan nafsu atau mendapatkan harta kekayaan dengan cara cepat dan instan. Memperdaya para wanita yang mudah dibohongi oleh penampilan luarnya saja.
Gejala memanfaatkan kegantengan dan kesantuan belakangan ini pun merambah di dunia politik. Dijadikan modal untuk menarik simpati masyarakat. Melihat kebanyakan akar rumput yang masih awam dalam soal memilih pemimpin, ada celah yang bisa digunakakan untuk memperoleh dukungan. Memanfaatkan mereka yang masih mudah terpengaruh oleh penampilan luar dan tidak mempedulikan vis misi serta program sebagai seorang pemimpin.
Bermodal penampilan ganteng dan santun, tanpa pengalaman sedikitpun memimpin suatu daerah atau setidaknya bergelut di birokrasi pemerintahan nekad maju demi meraih ambisi kekuasaan. Tidak mengherankan sasaran yang dituju kebanyakan adalah warga miskin di pinggiran untuk berkampanye dengan cara blusukan disertai janji-janji surga. Kelompok masyarakat kelas bawah seperti ini dianggapan mereka mudah diperdaya dan sebagai penyumbang suara yang besar.
Misalnya saja ada seorang anak yang dulu bapaknya sempat berkuasa. Akibat ambisi besar sang ayah, dia yang sedang berkarir di bidang bukan politik, harus rela meninggalkannya dan terjun ke dunia politik. Ingin agar meneruskan tradisi dinasti keluarga sebagai pemimpin di negara ini. Sang ayah yang dikenal piawai bermain politik sudah menimbang matang memajukan anaknya. Selain berpenampilan menarik dan dianggap cerdas, walau belum berpengalaman, tapi punya perhitungan akan bisa menang. Belajar dari pengalaman dulu sang ayah.
Bermodal ganteng dan berpolitik santun menempatkan sebagai korban yang didzolimi, cukup banyak mendapatkan simpati masyarakat. Terutama dari kalangan wanita. Saat ini moment yang ditunggu dianggap tepat untuk memunculkan the rising star yang memang sudah dipersiapkan. Membaca kondisi masyarakat yang mulai alergi dengan partai politik berdasarkan pengamatan adanya pengumpulan KTP yang begitu antusias diikuti warga untuk mendukung calon independen.
Maka sang anak yang bukan kader parpol diharapkan menjadi alternatif pilihan. Selain juga memilihkan pasangannya seorang birokrat wanita dan warga asli daerah pemilihan, sebagai daya tarik pemilih yang masih berdasarkan primordial dalam menentukan pemimpinnya.
Tidak ada larangan dalam berpolitik dinasti, namun jika dicermati produk semacam ini banyak sisi negatifnya. Banyak kasus pelanggaran hukum melibatkan orang-orang didalamnya yang tersangkut penyalahgunaan wewenang maupun korupsi. Contoh yang masih hangat saat Guberrnur Banten, Ratu Atut, tertangkap. Kerabatnya yang juga menduduki berbagai jabatan di pemerintahan ikut terlibat.
Melanggenggkan kekuasaan dengan berambisi memperoleh jabatan bagi kerabat atau keturunan, biasanya ada motif tertentu yang disembunyikan. Memang tidak semuanya begitu, namun biasanya untuk menutupi kebusukan generasi sebelumnya agar tidak terungkap. Secara sistematis apabila kekuasaan dipegang kerabatnya, kasus-kasus yang belum diusut akan mudah dipeti es kan.
Contoh lain yang bermodal kegantengan dan kesopanan untuk meraih simpati demi ambisi kekuasaan terlihat pada orang yang tidak konsisten dengan prinsip sendiri. Kegagalan terpilih sebagai capres sewaktu mengikuti konvensi yang dilakukan oleh suatu partai dan merasa kecewa lalu membelot “mengabdikan” diri pada pihak berseberangan. Ikut berpartisipasi memenangkan calon yang didukung agar mendapatkan jabatan sebagai batu loncatan memenuhi keinginan yang lebih tinggi.