Lihat ke Halaman Asli

elde

TERVERIFIKASI

penggembira

Gak Enaknya Hidup di Negeri Orang

Diperbarui: 14 Februari 2016   18:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="bangunan dari mainan lego...foto: elde"][/caption]Kadang banyak orang membayangkan kehidupan di perantauan khususnya negara-negara maju di Barat serba indah gemerlapan. Hidup enak banyak tunjangan dari pemerintah, uang seperti tinggal memetik dari pohon dan bisa untuk bersenang-senang, menari, mennyanyi, pesta pora selamanya senantiasa. Cara pandang yang mungkin karena hanya melihat dari mengkonsumsi film-film serba wah, cerita kawan yang berlebihan dan ketemu bule-bule bersenang-senang sewaktu liburan.

Pandangan keliru jika itu masih dipertahankan dan sebaiknya bayangan tersebut segera diubah. Bila melihat bule-bule yang sedang liburan dan seakan-akan berlimpah uang, memang tidak ada salahnya. Namun yang perlu diingat bahwa mereka itu sebelum melakukan liburan di negaranya harus kerja keras mengumpulkan uangnya. Tentu saja selama liburan akan memanfaatkan waktu yang dimiliki sepuas mungkin bergembira ria sebagai pelarian rutinitas kesehariannya yang kadang bisa membuat orang stress.

Memang banyak kelebihan-kelebihan dalam artian ekonomi, segi keamanan, jaminan hari tua, pendidikan gratis, kenyamanan transportasi dan lain sebagainya di negara maju lebih baik daripada negara kita. Hanya saja hubungan sosial kemasyarakatannya jauh sekali jika dibanding seperti di Indonesia. Orang disini dikenal atau dianggap memliki keegoan tinggi, hingga lupa berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Hal ini karena tuntutan kehidupan keras untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarganya. Waktu untuk bersosialisasi dengan teman atau tetangga pun terabaikan. Semua sibuk dengan masalah pribadinya.

Seperti yang penulis alami. Dulu ketika awal-awal datang di Jerman, banyak teman dari istri atau kenalan waktu sekolah bahasa dengan orang-orang dari berbagai negara, bahkan salah satunya orang Indonesia. Kita sering berhubungan dan bertemu saling mengundang ke rumah atau jalan-jalan bareng. Namun lambat laun satu persatu kehilangan kontak sejak kita memiliki keluarga dan anak-anak. Tuntutan kerja dan mengurus keluarga telah menyita waktu untuk bertemu lagi dengan mereka. Tidak beda juga yang dialami oleh teman-teman ini. Mereka pun disibukkan dengan tuntutan hidup sama setelah berkeluarga. Tinggal beberapa saja yang masih kontak tapi inipun belum tentu beberapa bulan bisa ketemu. Biasanya hanya saling telpon saja.

Dengan tetangga pun juga tidak berbeda. Walaupun sudah saling mengenal namun jarang sekali bisa ngobrol panjang sambil duduk duduk layaknya di Indonesia yang penuh keakraban, apalagi bila musim dingin tiba. Pintu dikancing rapat dan jarang nongol keluar. Paling sesekali ketemu berpapasan dan say hello saja dan melanjutkan lagi aktivitas masing-masing.

Celakanya lagi bila salah satu dari keluarga kita ada yang sakit. Walaupun banyak dokter dan rumah sakit, namun semuanya harus dikerjakan sendiri. Dalam artian mencukupi kebutuhan si sakit dan menemaninya. Bantuan dari kerabat atau sanak famili tidak bisa diharapkan. Kekerabatan saling bantu seperti di Indonesia, tidak ditemui disini. Terpaksa ijin tidak masuk kerja untuk mengurus dan merawat harus dilakukan.

Rutinitas keseharian dengan 5 hari kerja dan sabtu untuk bersih-bersih rumah serta belanja keperluan pokok dapur, adalah kehidupan monoton yang sudah menjadi semacam kebiasaan keluarga disini. Bila ada sedikit waktu luang digunakan untuk jalan-jalan atau sekedar mencari hiburan di tempat tertentu. Minggu adalah hari santai bila tidak ada keperluan lain dan menghabiskan waktu seharian bersama keluarga.

Masalah makanan juga menjadi problem sendiri. Kebiasaan lidah dengan masakan Indonesia tidak mudah dijumpai disini. Hanya ada 1 atau 2 restaurant Indonesia yang ada di München. Itupun lokasinya jauh dari rumah dan rasa juga tidak asli seperti di negara kita. Mau masak sendiri juga tidak bisa seenak di warung-warung sana karena kesulitan mencari bahannya. Berbeda sekali bila di Indonesia jika sewaktu-waktu kita lapar dan pingin jajan, tinggal jalan kaki atau naik motor buat beli. 24 jam tersedia dan harga jg murah meriah.

Itulah beberapa hal gak enaknya hidup di negara orang yang penulis alami, tapi mungkin beda dengan yang dirasakan oleh rekan-rekan lain dan saat ini bermukim tidak di tanah air. Interaksi masyarakatnya yang kurang akrab satu dengan lain karena kesibukan masing-masing dan juga masalah kuliner yang sudah mendarah daging ini, selain itu disini juga tidak ada yang menjual rokok eceran....




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline