Kata gotong royong sangat akrab ditelinga kita terkait dengan budaya yang sudah turun temurun dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Kebersamaan dalam mengerjakan atau membangun sesuatu semacam rumah jika di pedesaan maupun kerja bakti sewaktu mempersiapkan acara menyambut hari kemerdekaan dll. Kebersamaan seperti ini ternyata tidak hanya terjadi di negara kita namun juga ada di komunitas masyarakat Jerman.
Kadang orang berpikir masyarakat Jerman karena kesibukannya dan egoisme yang tinggi, tidak mempunyai waktu untuk berkumpul dan mengerjakan sesuatu bersama. Pemikiran yang tidak sepenuhnya benar. Ternyata di negara yang sudah terbilang maju ini, kegiatan gotong royong juga masih ada.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, tempat dimana anak saya berlatih sepakbola mengadakan Sommerfest atau perayaan musim panas. Acara yang selalu dilakukan sebelum memasuki liburan panjang dan juga merayakan pesta berakhirnya kompetisi tahun ini. Kegiatan yang tidak hanya melibatkan anak-anak namun juga orang tuanya.
Sejak jumat sore kemarin para orang tua disibukkan mempersiapkan tempat dengan segala fasilitasnya. Dengan uang kas yang dikumpulkan tiap bulannya digunakan menyewa barang-barang yang diperlukan. Membuat tempat bermain anak semacam trampolin, kolam renang buatan, tenda dsb. Dengan kesadaran sendiri dan tanpa pamrih para orang tua datang dan bergotong royong mengerjakan bersama.
Suasana keakraban antar orang tua terlihat begitu kental sekali. Saling bantu mengerjakannya tanpa ada keluhan. Menyadari bahwa hal ini adalah untuk kebutuhan bersama yang harus dilakukan bersama pula. Bila nantinya anak-anak menikmati kesenangan dalam perayaan ini, orang tua pun turut gembira.
Pada hari sabtu acara pun dimulai tepat pukul 3 siang. Dibuka dengan pertandingan sepakbola yang melibatkan orang tua bersama anak-anak. Just for fun. Walaupun di tengah teriknya matahari dengan temperatur lebih 30 derajat, mereka menikmati pertandingan ini. Bila badan sudah tidak tahan lagi menahan panas dan berkeringat kolam renang buatan tersedia untuk mengademkan diri.
Ibu-ibupun dengan suka rela menyumbang makanan yang dibawa dari rumah. Selain itu yang selalu tidak ketinggalan adalah acara bakar-bakaran alias grilled. Semuanya disediakan dengan gratis dan boleh mengambil sesukanya. Kebetulan saya dapat jatah untuk menjaga grilled ini bergantian dengan teman setiap 2 jam sekali. Tahu saja kalau saya ini suka makan banyak maka ditempatkan disini. Berbagai daging dari ayam, kalkun, dan sapi mengundang selera untuk dicicipi.
Bagi orang-orang Jerman yang kebanyakan non muslim dan menyukai daging babi, spanferkel menjadi pilihannya. Makanan ini adalah semacam babi guling hanya saja dari seekor babi yang masih muda. Salah satu makanan tradisional masyarakat Bayern yang disajikan dengan Knödel dan Blaukraut. Bir yang menjadi kegemaran pastinya juga tidak ketinggalan.
Klub sepakbola ini memang dikelola secara kekeluargaan dan untuk pelatihnya pun diambil dari orang tua anak. Bagi yang bersedia menjadi pelatih akan diberi semacam pendidikan atau sekolah selama 6 bulan oleh klub. Pendidikan tentang bagaimana memberikan dasar-dasar pelatihan sepakbola pada anak dengan benar. Untuk musim mendatang saya pun ditunjuk dijadikan salah satu pelatih untuk anak yang berumur 7 tahun. Sistem seperti ini memang digunakan di banyak klub amatir bukan seperti sekolah sepakbola profesional semacam Bayern München.
Jika di Indonesia rekan kompasiana bisa merayakan hari lebaran dengan berkumpul sanak saudara dan kerabat untuk saling silaturahmi, di Jerman karena jauh dari keluarga dan tidak bisa ikut merayakannya apalagi dengan makan ketupat opor ayam, maka lebaran ini saya habiskan bersama para pemain sepakbola. Hanya saja bukan dengan pemain2 Bayern München karena mereka sedang melakukan lawatan ke China, tapi dengan anak-anak yang nantinya siapa tahu salah satu diantaranya Anda pun akan mengenalnya sebagai pemain di Bundesliga atau tim nasional Jerman.