Dalam bahasa Jawa, kebelet diartikan sebagai keinginan yg sudah tidak bisa ditahan lagi. Kalau diibaratkan makan, air liur mulai jatuh berdleweran melihat hidangan yang sudah ada didepan mata. Begitu pula jika ingin pipis, gak bisa ditahan lagi yang akhirnya ngompol di celana.
Tidak beda dengan situasi politik di negara ini, dendam kekalahan pilpres jago yang didukungnya rupanya masih belum bisa terobati. Masih ada segelintir orang bersuara keras yang berharap kejatuhan Jokowi. Saking sudah ngiler dan kebeletnya, akal pun tidak digunakan lagi. Menunggu dewan perwakilan rakyat yang belum bisa menemukan celah sebagai alasan untuk menjatuhkan Jokowi, maka otot pun digunakannya.
Melalui propaganda dan fitnah tentang keburukan pemerintahan Jokowi, masyarakat diajak berdemo menuntut pelengserannya. Mereka pikir Jokowi yang baru bekerja kurang lebih 5 bulan telah dianggap gagal mensejahterakan rakyat. Mereka butuh pemimpin merangkap tukang sulap yang bisa menjadikan Indonesia hanya dengan ucapan simsalabim lalu menjadi negara besar yang dihormati negara lain dan kesejahteraan rakyatpun terjamin.
Mereka lupa bahwa birokrasi yang dijalankan oleh pemerintah sebelumnya telah gagal memberikan pondasi kekuatan ekonomi dan meninggalkan budaya korupsi yang sudah mengakar, telah menjadikan bangsa ini selalu menggantungkan hidupnya pada negara lain. Akibatnya menjadi bangsa yang mudah didikte oleh negara-negara donatur.
Masalah kenaikan BBM, jika Jokowi mau mengikuti cara pemerintah sebelumnya pasti tidak akan muncul demo-demo yang menuntut mundur. Jokowi bisa melakukan pinjaman hutang pada para donatur luar untuk menutup defisit APBN dan rakyat tidak merasa kena dampaknya secara langsung. Mereka pun akan adem ayem seperti masa pemerintahan dahulu. Dampak jangka panjang tidak dipikirkan. Namun hal ini tidak dilakukan oleh Jokowi. Keinginan menjadikan bangsa mandiri dan tidak didikte oleh negara lain, membuat dia berani menerima resiko membuat keputusan yang tidak populer. Lebih memilih untuk mengajak rakyat prihatin dahulu dan menggenjot pembangunan guna meningkatkan perekonomian dalam negeri dari uang APBN hasil memangkas subsidi BBM.
Tidak dipungkiri rakyat yang sudah terlalu dimanjakan dengan subsidi akan merasa kaget dan tidak siap menerima kondisi ini, tapi kalau tidak dimulai dari sekarang, lalu kapan lagi. Berkurangnya subsidi pada BBM yang pasti juga diikuti kenaikan barang membuat galau pikiran. Kegalauan rakyat dimanfaatkan oleh lawan politik untuk mendiskreditkan pemerintah. Klop.
Namun jika kita mau berpikir lebih panjang dan jauh kedepan, wujud kebijaksanaan pemerintah dengan menghentikan subsidi BBM, ini nantinya akan dinikmati selain kita sendiri juga anak cucu kita. Negara yang tanpa beban utang menggunung akan memudahkan bangsa ini menentukan arahnya karena tidak didikte oleh pihak lain. Uang negara pun digunakan nantinya mewujudkan kesejahteraan rakyat dan tidak untuk membayar hutang beserta bunganya yang mencekik.
Untuk menghadapi kondisi yang saat ini dianggap sulit, hidup hemat adalah jalan satu2nya. Bukan dengan cara melengserkan pemimpinnya yang belum tentu penggantinya pun akan lebih baik. Bahkan tidak menutup kemungkinan mendapatkan pemimpin buruk yang berkedok santun dan agamis. Sejarah sudah mencatat bagaimana bangsa ini ketika dipimpin rezim orba. Kondisi perpolitikan seperti adem ayem saja dan harga-harga barang terjangkau, tapi ternyata meninggalkan hutang menggunung dan korupsi merajalela. Imbas dari rezim tersebut sampai saat ini masih kita rasakan. Apakah Anda memilih kondisi demikian ? Saya jawab dengan tegas, TIDAK !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H