Lihat ke Halaman Asli

elde

TERVERIFIKASI

penggembira

Gerindra Menggali Kuburnya Sendiri

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat ini suasana kegembiraan terus mewarnai kubu Koalisi Merah Putih dengan komandannya Prabowo dari partai Gerindra. Setelah berhasil meloloskan UU MD3 dan RUU Pilkada, dominasi kepemimpinan di DPR dan MPR pun dikuasai mereka. Kesuksesan yang sedikit bisa mengobati luka hati setelah kekalahannya dalam pertarungan pilpres kemarin.

Namun jika dilihat dari susunan pimpinan di parlemen, terlihat bahwa Gerindra hanya menempatkan 1 kadernya, Fadli Zon, sebagai wakil ketua di DPR. Fakta ini menunjukkan betapa partai yang mendapatkan urutan perolehan suara ketiga begitu terjepit oleh kekuatan disekitarnya. Ketakutan akan ditinggalkan oleh rekan koalisi, menjadikan harus menuruti kehendak mereka. PKS, PAN dan Demokrat yang mendapatkan suara jauh dibanding Gerindra dalam pileg kemarin bahkan bisa mendudukan kader-kadernya diposisi ketua MPR beserta wakil ketuanya dan juga wakil ketua di DPR. Golkar pun sukses menghantarkan Setya Novanto menjabat ketua DPR dan wakil ketua di MPR.

Anggota KMP sangat mengerti ambisi Gerindra yang masih menyisakan sakit hati dan dendam atas terpilihnya Jokowi. Situasi ini dimanfaatkan oleh mereka mendekati demi memperoleh kekuasaan di parlemen. Ibarat seorang penunggang kuda yang kini dijadikan kuda tunggangan. Kader Gerindra masih harus belajar banyak masalah politik pada senior2nya seperti Akbar Tanjung, Amin Rais dan SBY. Tidak ada jaminan KMP nantinya akan solid setelah terbentuknya pimpinan di DPR dan MPR. Tidak ada kawan abadi yang ada hanya kepentingan sesaat demi kelompoknya sendiri. Kemungkinan besar Golkar yang pertamakali bakal meloncat ke kubu pemerintah. Tidak ada sejarahnya partai pohon beringin ini pernah menjadi oposisi, apalagi Jusuf Kalla kadernya menjabat sebagai wakil presiden. Keputusan hanya menunggu munas yang akan digelar mendatang.

Hal yang tidak disadari oleh Gerindra karena nafsu dan gelap mata para elit politiknya agar mendapat dukungan untuk menggembosi pemerintahan baru. Niat ini semakin terlihat nyata dengan keluarnya pernyataan ketua pembina Gerindra, Hashim Djojohadikuso, adik Prabowo, bahwa ada harga yang harus dibayar oleh Jokowi atas pencapresannya. Mengibaratkan pemerintahan 5 tahun mendatang seperti yang terjadi di Amerika. Parlemen akan mengawasi secara aktif program pemerintah dan bisa menggunakan hak vetonya untuk menggagalkan penentuan sejumlah jabatan dan lembaga semacam, Kapolri, Panglima TNI, Hakim Agung dan anggota Mahkamah Konstitusi. Diakui pula hal ini karena alasan persoalan pribadi yang mendasarinya. Hal buruk yang pernah terjadi di pemerintahan Obama sewaktu Amerika mengalami shutdown karena tidak ada kesepakatan kebijaksanaan antara partai republik di parlemen dengan Obama yang dari demokrat.

Hashim menyebut Jokowi sebagai personal betrayal, karena merasa telah membiayai mengangkat Jokowi menjadi gubernur DKI Jakarta tapi dikhianati dengan pencapresannya hingga menyebabkan gagalnya Prabowo menjadi orang nomer 1 di negara ini. Soal pembiayaan yang dklaim oleh Hashim sudah pernah dibantah oleh Ahok.

Sangat disayangkan, partai Gerindra yang termasuk partai baru juga dianggap bersih, belum pernah berada di pemerintahan dan sedang mendapat angin sewaktu pileg dengan perolehan suara meningkat sekitar 200%, dibawa ke arah politik yang tidak tentu oleh "pemiliknya". Pileg 2019 mendatang tidak akan menjamin partai ini bisa menduduki 3 besar perolehan suara lagi, apabila melihat manuver-manuver politiknya yang dilakukan sejak pilpres hingga sekarang.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline