Lihat ke Halaman Asli

elde

TERVERIFIKASI

penggembira

Akrobat Partai Politik Soal Kenaikan BBM

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kenaikan BBM (Kompas.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Kenaikan BBM (Kompas.com)"][/caption] Sejak berdirinya negara ini, kenaikan BBM pernah dilakukan oleh semua presiden dan partai penguasa. Pencabutan subsidi BBM yang memang tidak bisa dihindari karena dianggap sebagai beban APBN dan menjadi penghambat lajunya pembangunan negara. Hanya dilakukan dengan cara berbeda namun alasan yang sama. Jumlah subsidi besar dianggap telah menyedot anggaran yang seharusnya bisa dialihkan pada proyek lain. Pro kontra selalu menjadi perbincangan hangat yang terjadi tidak hanya di tingkat atas, namun rakyat kecil pun terbawa juga hingga munculnya berbagai demo penolakan. Setiap ada kenaikan BBM dipastikan akan ada aksi penolakan khususnya sejak era reformasi. Hal menarik jika kita melihat tingkah laku partai politik dalam mengambil sikap tentang kenaikan BBM ini. Mundur kebelakang ketika masa kepemimpinan SBY, PDIP serta beberapa partai lainnyamenolak keras dan sempat memunculkan "buku putih" sebagai panduan solusi agar subsidi BBM tidak dicabut. PDIP saat itu menempatkan partainya sebagai oposisi dan konsisten dengan penolakan ini. Namun sekarang ketika Jokowi yang juga kader partai pimpinan Megawati ini menjabat presiden dan membuat keputusan menaikkan BBM, PDIP berbalik mendukungnya. Tidak lupa pada jaman presiden Megawati pun kenaikan BBM juga sempat dilakukan. PDIP tidak konsisten. Berbanding terbalik apa yang dilakukan oleh partai oposisi atau penyeimbang seperti yang diistilahkan oleh Demokrat yang tergabung dengan Koalisi Merah Putih. Sewaktu menjadi partai penguasa tercatat beberapa kali pemerintah SBY sempat menaikkan harga BBM, walau sempat juga menurunkannya. Keputusan kenaikan inipun mendapat persetujuan dari partai-partai pendukung pemerintah waktu itu dan terakhir kali hanya minus PKS. Namun setelah mereka tidak mencicipi kue kekuasaan lagi, sikapnya pun berubah dan sekarang rame-rame menolak keputusan presiden Jokowi menaikkan BBM. Jika dulu waktu masih berada di kekuasaan setuju menaikkan BBM namun sejak menjadi oposisi berubah total menolaknya. Dulu saya boleh menaikkan, tapi kamu sekarang tidak boleh. Leda lede saenak udele dewe... Menarik untuk dicermati adalah langkah PKS yang konon kosisten dengan penolakan ini. Tersiar di beberapa media hanya PKS partai yang konsisten dengan penolakan soal kenaikan BBM. Benarkah hal tersebut ? Mari kita lihat rekam jejak partai yang mantan presidennya ini sekarang mendekam di hotel prodeo karena kasus korupsi daging sapi. Masa periode 2004-2009 pemerintahan SBY, PKS sempat mencicipi kue kekuasaan dengan diangkatnya 2 menteri dari partai dakwah tersebut. Ketika tahun 2005 dan 2007, SBY menaikkan harga BBM sikap PKS menyetujuinya. Saat dimana bulan madu antara PKS dan SBY sedang mengalami masa mesra-mesranya. Bahkan partai ini termasuk paling awal mendukung SBY untuk menjabat periode keduanya. Tak heran jika petinggi PKS selalu mengingatkan perannya yang “berkeringat“ dalam koalisi dan tidak mudah bagi SBY untuk mengabaikan peran PKS tersebut. Namun memasuki periode keduanya, SBY ternyata lebih mendengarkan suara Golkar yang datang belakangan bergabung. Kekuatan suara Golkar di parlemen dan kepiawaiannya melobi membuat PKS merasa tersisih. Akhirnya keharmonisan bulan madu tersebut rupanya tidak langgeng seperti yang diimpikan. Kemesraan pun cepat berlalu. Perbedaan sikap PKS sering dilakukan dengan koalisinya. Sebagai  satu contoh dalam masalah kasus pembobolan bank Century, walau dalam kasus ini golkar satu suara dengan PKS. Sebenarnya PKS mendapat jatah empat kementerian sesuai kontrak bagi kursi pada awal pemerintahan SBY-Boediono. Namun, pada perombakan kabinet bulan Oktober 2011, Suharna Surapranata yang menduduki pos menteri riset dan teknologi dicopot dari jabatannya. Pengurangan kursi menteri bagi PKS ini ditengarai merupakan bentuk sanksi yang diberikan oleh SBY lantaran PKS kerap berbeda pendapat dengan kebijakan pemerintah dalam dua tahun yang sudah berjalan. Kemesraan yang cepat berlalu inipun sempat mencapai puncaknya seiring perjalanan waktu. Koalisi setgab dan SBY sudah semakin gerah dengan kelakuan PKS. Namun tidak bisa berbuat banyak. Perseteruan kembali terjadi tahun 2013 ketika pemerintah berencana menaikkan BBM. Dengan perhitungan SBY tidak bakal mencopot 3 kadernya di kementrian lagi karena terikat kontrak perjanjian, namun juga memahami keberadaannya sudah tidak disukai koalisi, maka langkah politik 2 kaki pun dimainkan oleh partai dakwah ini. Satu sisi ingin tetap menempel berada di pemerintahan namun sisi lain ingin bermanuver politik untuk menarik simpati rakyat. Menolak kenaikan BBM yang dicanangkan pemerintah SBY. Aksi yang cukup over acting pun ditunjukkan oleh simpatisan maupun kadernya dengan memasang spanduk penolakan dimana-mana. Untuk memberikan kesan pada masyarakat bahwa PKS berkomitmen tidak mendukung kebijaksanaan yang tidak pro rakyat. Bertujuan mendulang suara mengangkat elektabilitas partai pada pemilu 2014. Langkah ini dimungkinkan karena melihat survei sepanjang 2011 hingga awal 2012, beberapa lembaga survei merilis hasil tentang kecenderungan elektabilitas partai politik menjelang Pemilu 2014. Selain itu bisa juga beralasan karena koalisi pemerintah sudah akan berakhir periodenya dan SBY tidak mungkin menjabat presiden lagi untuk ketiga kalinya. Dari Lembaga Survei Indonesia yang dirilis pada Februari 2012 menempatkan potensi elektabilitas PKS yang rendah, yaitu se kitar 3,7 persen. Di antara sembilan partai politik di DPR, posisi elektabilitas PKS bahkan terlempar ke posisi delapan. Namun aksi penolakan kenaikan BBM rupanya tidak bisa mendongkrak suara PKS di pemilu 2014. Target 3 besar memang tercapai tapi dari urutan bawah. Kasus LHI dengan daging sapinya lebih dominan daripada aksi penolakan kenaikan BBM untuk mendapatkan simpati rakyat. Dari paparan diatas sangat terlihat jelas sekali bahwa kenaikan BBM adalah hal yang tidak bisa dihindarkan oleh siapapun presiden dan partai yang berkuasa. Namun hal ini selalu dijadikan politisasi oleh partai dengan tujuan menjatuhkan pemerintah. Semula setuju dengan kenaikan BBM ketika masih menikmati kue kekuasaan, namun setelah menjadi partai oposisi berubah menolaknya. Rakyat tidak diberikan pemahaman yang benar soal kondisi APBN dan modal  yang dibutuhkan menjalankan program roda pembangunan negara oleh elite2 politik, tapi malah diperalat untuk menentang kebijaksanaan kenaikan BBM. Saling jegal hanya untuk kepentingan kelompok bertujuan mencapai kekuasaan. Sebagai rakyat bawah semuanya kembali pada kita menyikapinya, apakah mau berakrobat seperti partai politik, atau punya prinsip sendiri dan bisa memahami dalam memandang masalah kenaikan BBM ini. Pilihan bebas karena hidup di negara demokrasi. Hal yang kemungkinan tidak akan jauh berbeda jika suatu saat entah itu tahun 2999 bila subsidi BBM masih ada dan kondisi Indonesia tidak berubah dan partai PKS jadi pemegang kekuasaan, tentunya akan melakukan hal sama dengan menaikkan BBM. Atau barangkali punya solusi lain dengan memakai cara instan menambah utang luar negeri untuk menambal kebocoran APBN dan hutang akan diwariskan pada pemerintah penggantinya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline