Lihat ke Halaman Asli

Sang Nenek "Pengunjung Tetap" Stasiun Tanah Abang

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ass. Sebelum temen-temen membaca tulisan Saya, berhubung masih suasana lebaran perkenankanlah saya untuk mengucapkan MINAL AIDIN WAL FAIDZIN. TAQABALLAHU MINNA WA MINKUM. MAAFIN YA KALO SAYA PUNYA SALAH BAIK YG DISENGAJA MAUPUN YANG GAK SENGAJA. Selamat menikmati tulisan saya, kalo ada yang mungkin gak sesuai boleh berkomentar, mau share pengalamannya jg boleh bgt. Thanks. Wassalam

***

Langit masih berkabut ketika mataku terbuka pagi ini. Sekilas kulirik jam dari HP ku. 05.04 WIB. Segera ku jejakkan kakiku di lantai kamar kos ku tercinta dan beranjak mengambil air wudhu tuk menunaikan Sholat subuh. Ingin rasanya ku pejamkan kembali mataku dan melanjutkan tidurku. Namun pagi ini aku harus silaturahmi ke rumah sodaraku sebelum aku berangkat ke kantor. Setelah mandi dan bersiap-siap, aku bergegas menuju stasiun Tanah Abang.

“Masya ALLAH…” pekikku ketika tiba di stasiun dan menyaksikan ratusan orang memadati stasiun itu.

Pada hari biasa saja stasiun ini selalu di padati penumpang kereta ekonomi dan KRL, apalagi pas musim arus balik gini. Setelah mengantri dan memperoleh tiket kereta KRL tujuan Serpong yg berhenti di stasiun Palmerah, akupun masuk ke dalam ruang pemberangkatan kereta. Ternyata aku masih harus menunggu datangnya kereta sekitar 30 menit lagi. Mataku tak bisa berhenti mengamati situasi di sekitarku yang sangat ramai. Tak berapa lama pandanganku tertuju pada sesosok nenek yang sudah lanjut usia yang sedang duduk di sebuah bangku panjang sambil memegang tas plastik.

“Kok ada nenek itu lagi sih?” tanyaku heran dalam hati.

Beberapa orang tampak sedang berbicara pada nenek itu. Tak jarang pula yang menanyakan hal yang sama dengan yang sempat aku tanyakan padanya 3 minggu lalu.

“Masya ALLAH, kok ada ya anak dan menantu yang tega mengusir dan menelantarkan ibunya seperti ini?”’

Itulah kira-kira salah satu pertanyaan yang pasti menghinggapi benak banyak orang ketika mendengar cerita dan penuturan dari si nenek itu hingga bisa sampai di stasiun Tanah Abang.

Seperti yang tadi aku bilang, 3 minggu yang lalu, aku pun sempat bertanya seperti itu padanya. Singkat cerita, 3 minggu yang lalu, aku berniat mengunjungi salah satu teman lamaku di Depok dan aku memilih naek KRL dari stasiun ini. Ketika sedang menunggu kereta datang, tiba-tiba datang seorang nenek lanjut usia dengan membawa kantong plastik yang langsung duduk di sebelahku. Awalnya aku cuek saja sampai aku melihatnya menangis. Terdorong rasa iba, aku pun bertanya padanya,

“Nenek kenapa nangis?” tanyaku mengawali obrolan.

“ Saya di usir sama anak dan menantu saya. Baju saya semuanya di lempar ke luar rumah dan di siram air sama mereka. Katanya saya cuma bisa merepotkan mereka,” tuturnya dengan isak tangis.

“Masya ALLAH, tega banget anak sama menantu nenek itu. Trus ini nenek mau kemana?”

“ Saya mau pulang ke Jawa tapi ndak punya duit. Tadi saya minta tolong orang suruh beliin tiket tapi malah ditipu. Sekarang saya ndak punya uang,”

Semakin bercerita tangisnya semakin menjadi. Kuberikan selembar tissue padanya. Setelah dia agak tenang, aq kembali bertanya.

“Jawanya daerah mana, Nek?”

Bukannya menjawab pertanyaanku tapi dia malah mengulang kata-katanya yang sebelumnya. Pikirku, maklum mungkin karna sudah lanjut usia, pendengarannya mulai terganggu.

“Saya mau pulang ke Jawa tapi ndak punya uang,” jawabnya

“Memangnya di Jawa masih punya anak atau sodara?” tanyaku lagi.

“Saya ndak punya anak. Yang mengusir saya tadi tu anak angkat saya. Tapi di Jawa masih ada sodara,” jujurnya.

Tanpa pikir panjang aku pun mengeluarkan beberapa lembar uang puluhan ribu rupiah yang sekiranya cukup untuk membeli tiket kereta kelas ekonomi ke Jawa dan memberikannya pada nenek itu.

“Ya sudah, nenek yang sabar ya. Semoga Allah mengampuni dosa anak nenek. Ini ada sedikit uang buat beli tiket kereta ke Jawa. Nanti minta tolong sama Pak Polisi atau satpam aja ya buat beli tiketnya. Kalau sudah di Jawa, nggak usah balik lagi ke sini. Kan anak nenek jahat kayak gitu,” pesanku.

“Iya makasih ya Nak,”

Beberapa orang yang melihat dan mendengar percakapan kami pun turut merasa iba dan akhirnya memberikan sumbangan semampu mereka.

Setelah sumbangan terkumpul, nenek itu memasukkan uangnya ke dompet kumalnya. Namun sebelumnya dia sempet minta tuker uang 10 ribuan dengan 2 lembar 5 ribuan.

Ketika melihat ada petugas keamanan lewat di depanku, aku pun memintanya untuk membantu mengantarkan sang nenek membeli tiket. Namun di luar dugaan, petugas tersebut menolak permintaanku dengan tegas.

“Ah…ogah mbak, tar saya malah ikutan kena lagi kalo ada razia. Nenek itu tu pembohong mbk. Jangan percaya ma dia. Saya tu sampe capek ngurusin dia tiap hari. Tar liat aja, kalo dah dapat banyak dari orang-orang yang kasihan ma dia, dia pasti minta tuker uang cemban ama 2 lembar goceng. Trus kalo ada tukang semir atau sol sepatu lewat, dia bakal minta tolong ke dia buat naek ke atas pura-pura beli tiket. Si tukang semir tar dikasih goceng ma dia,” ujar petugas itu sambil berlalu pergi gitu aja.

Antara percaya atau tidak, ingin rasanya aku bertanya lebih lanjut pada sang petugas, namun sayangnya keretaku dah dateng. Ketika keretaku hampir berjalan, aku sempat melihat sang nenek menggandeng tukang semir sepatu yang lewat di depannya dan mereka pun menuju ke tangga arah pintu keluar.

Dan kini, aku kembali melihat nenek itu disini. Berarti benar kata petugas waktu itu. Atau mungkin  ada beberapa dari Anda yang sempat bertemu dengan sang nenek itu.

Masya ALLAH…apakah ini merupakan modus baru untuk menyamarkan pengemis yang di kelola oleh sebuah sindikat? Kalau dalam satu jam saja seorang nenek itu bisa mendapat uang antara 200-500an ribu, berapa penghasilan mereka dalam sehari? Bisa ngalahin gaji seorang lulusan sarjana tuh sebulan. Padahal orang-orang yang memberikan sumbangan itu ikhlas berderma, namun sayangnya niat baik itu disalahgunakan oleh mereka. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa mereka dan memberikan hidayah pada mereka untuk segera bertobat. Semoga juga pemerintah lebih concern untuk menangani “penyakit social” seperti ini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline