Lihat ke Halaman Asli

Louisa Ratag

fulltime mom of two daughter

Virus Arogansi Aparat

Diperbarui: 3 Mei 2023   11:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Topik berita belakangan ini rasanya didominasi oleh kabar penganiayaan yang dilakukan oleh oknum aparat, dan/atau keluarganya. Setelah beritanya mencuat, kemudian segera terkuak berbagai tindak kejahatan lain (tahu sendiri, khan, kekuatan jari netizen).

Kemudian saya berpikir, sebegitu telaknya balasan atas kedzaliman yang dilakukan oknum aparat (lagi-lagi, "dan/atau keluarganya"). Saya pun berusaha membayangkan, seperti apa ya situasinya? Menjadi seorang aparat, dengan posisi tertentu, dengan hak-hak tertentu, dengan "hak-hak" yang juga tertentu dan "spesial" (pengulangan on purpose, dan pemberian tanda kutip-garis bawah-huruf tebal juga on purpose, karena..... tau laaahh). Seperti apa ya situasinya, seperti apa ya rasanya, menjadi keluarga seorang aparat? Pikiran saya berkelana dengan segala andai dan tanya.

Bukankah menjadi seorang aparat - dengan kekuasaan dan kekuatannya - seharusnya menolong si lemah dari ketidakadilan yang dialaminya? Mengapa ada aparat yang justru memanfaatkan kekuasaannya untuk berlaku tidak adil? Mengapa ada keluarga aparat yang juga memanfaatkan kekuasaan saudaranya untuk berlaku semena-mena (dengan embel-embel "punya backing aparat")? Darimana akar semua ini?

Ada fenomena, yang mana saya pun pernah saksikan sendiri dalam sebuah keluarga, dan rasanya sangat mungkin terjadi pada keluarga lain yang juga terhubung dengan aparat.

"Adik ipar saya menjabat di instansi anu sebagai inu, jadi untuk urusan ono, gampang laaahh, aman, bakal dibantu sama dia"

Familiar? Relatable? :)

Jabatan atau tanggungjawab sebagai aparat akhirnya - sadar atau tidak sadar - dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau keluarga! Itu namanya penyalahgunaan wewenang dalam jabatan bukan sih? Dan anehnya, sebagai keluarga alih-alih mendukung tanggungjawab dan "menjaga muka" si aparat dengan memiliki sikap bersahaja, justru memanfaatkan jabatan si aparat dengan arogansinya. Mungkin dengan anggapan, "urusan ono, gampang laaahh, aman, bakal dibantu sama dia". Sikap saling membantu itu pada dasarnya sikap yang baik, lho. Tapi kalau membantu untuk hal yang tidak baik, jadinya malah tidak berkah, bukan?

Mau jadi aparat yang disegani atau aparat yang ditakuti? Mau jadi keluarga aparat yang disegani atau ditakuti?

Keluarga seharusnya menjadi pendukung bagi si aparat, untuk menjaga wibawa nya, untuk mengingatkan wewenang dan tanggungjawabnya, serta sikap seperti apa yang harus dibawa dalam kesehariannya. Entah darimana akar semua kealpaan ini.... psikotes kah? Pendidikan agama kah?  Bibit bebet bobot keluarga kah? Sampai-sampai kita bisa melihat arogansi aparat (dan/atau keluarganya) terpampang di media. Itu baru yang isunya terendus media, bagaimana yang tidak sampai ke media? Berapa banyak?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline