"Adalah pastor Belanda bernama Theodore Verhoven, seorang arkeolog, pada tahun 1951 menemukan gua ini. Fosil satwa laut seperti kura-kura, ubur-ubur dan terumbu karang atau coral, ditemukan pada susunan bebatuan dan di dinding dalam gua.
Karena itu, Pastor Verhoven berani menyimpulkan bahwa dulu Pulau Flores berada di dasar laut" cerita Antonius, pemandu wisata Gua Batu Cermin, Labuan Bajo, Flores sambil berjalan menuju mulut Gua.
Sepanjang jalan setapak menuju ke Gua, di kanan kiri ditumbuhi rumpun bambu yang kata Antonius, bambu sangat bermanfaat bagi warga Manggarai. Pangkal akar bambu untuk pegangan pedang. Warga lokal memanfaatkan bambu untuk pagar, kerajinan, dan tunas muda bambu (rebung) diambil untuk dimasak jadi sayuran.
Antonius, berkisah setelah kami membayar tiket masuk obyek wisata sebesar 10 ribu di loket pintu masuk. Sebagai pemandu wisata kami, ia cukup berpengalaman. Tanpa ditanya lebih dahulu, pengunjung langsung dijejali dengan sejarah asal usul gua ini.
Selain itu, ia ramah dan suka bercerita. Bahasa inggris, ia kuasai sehingga tampak begitu komunikatif bicara dengan Jay, guru Mandarin teman saya.
Siang itu (19/12/2018) saya dan teman saya guru Mandarin, berwisata keliling Labuan Bajo. Oleh sopir kendaraan yang kami sewa melalui resepsionis hotel, kami diantar ke Gua Batu Cermin. Dari hotel de Chocolate, tempat kami menginap, hanya berjarak sekitar 15 menit.
Gua Batu Cermin menjadi alternatif wisata setelah kemarin kami berlayar seharian mengunjungi pulau-pulau dalam sharing tour Komodo menggunakan speed boat. Indahnya Labuan Bajo bisa di simak di tulisan saya terdahulu DI SINI.
Tinggi Gua ini mencapai 75 meter. Luasnya sekitar 19 ha di area Bukit Batu Labuan Bajo, Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur. Didominasi oleh bebatuan Stalagtit dan Stalagmit yang mengandung air dan garam. Konon, katanya, gua ini merupakan terumbu karang yang muncul karena surutnya air laut.
"Bebatuan ini, apabila terkena sinar matahari, akan berkilau seperti cermin. Indahnya penampakan sinar matahari yang masuk lewat celah-celah gua, bagus disaksikan pada pukul 12.00 siang.
Itulah sebabnya, masyarakat di sini meyebutnya Gua Batu Cermin" ungkap Antonius saat berada dalam gua yang gelap. Flash light dari hape, sangat berguna untuk menerangi langkah kami memasuki gua gelap ini.
"Lihat ini ada laba-laba besar" kata Antonius sambil menerangi binatang itu dengan senter hapenya. Jaya berkomentar, "Wah, ini bisa membuat saya menjadi spiderman bukan batman". Memang, kelelawar dan burung sriti juga menjadi penghuni gua ini.
Wisatawan lain yang kami jumpai di mulut gua, memiliki kesan yang sama dengan kami. Takjub dan mempesona. Ada keasikan tersendiri ketika memasuki gua dengan berjalan jongkok dan hati-hati agar kepala tidak terantuk batu stalagtit.
Tak kurang dari setengah jam kami sudah keluar dari gua, dan berjalan menyusuri jalan keluar yang bertebing bebatuan. Nuansa bebatuan bertebing kering, mengingatkan saya pada film-film bergenre Sci-Fi seperti "Guardians of the Galaxy" atau "Avengers".