Michelle, asal Perth Australia, selalu berdiskusi dengan Ludovic, asal Perancis tentang layaknya objek wisata menjadi lokasi yang dikunjungi dalam wisata edukasi. Apakah standar keselamatan dan kebersihan sudah layak? Selain itu, apakah ada kemungkinan untuk berkolaborasi dengan pemerintah setempat dan berkomunikasi dengan penduduk lokal?
"Apakah pulau Lihaga, Minahasa Utara layak untuk wisata edukasi?" inilah tujuan mereka pergi ke pulau Lihaga, Kamis (12/4).
Sekarang ini, Pulau Lihaga menjadi primadona buat dikunjungi oleh wisatawan. Luas pulau ini 8 hektar. Sebagian besar pantainya berpasir putih, selembut bedak, dan bukan pulau berpenghuni. Memiliki spot snorkeling yang tak kalah dengan Bunaken. Keindahan aneka biota laut dan terumbu karangnya diakui paling bagus oleh para pecinta snorkeling.
Untuk menuju ke Pulau Lihaga, dibutuhkan hanya 90 menit dari Kota Manado. Dulu, pelabuhan Serei dipakai untuk titik berangkat. Sekarang, semua perahu wisata yang akan menuju ke Lihaga, diwajibkan melalui pelabuhan Likupang. Alasannya, tak lain adalah pencatatan (manifest) para penumpang perahu.
Dari pelabuhan Likupang, hanya butuh waktu 40 menit sampai di Pulau Lihaga. Sewa perahu wisata dipatok mulai dari Rp. 800.000,- per hari. Jadi perahu akan menunggu penyewa hingga pulang ke Pelabuhan Likupang.
Saya dan rombongan tiba di Pelabuhan Likupang sekitar jam 10 pagi. Kami singgah di rumah makan Seroja, Manado untuk membeli nasi kuning telor. Ya, bekal untuk makan siang nanti di Lihaga. Soalnya, di pulau tak ada yang jual makan dan minum. Kebutuhan konsumsi harus disiapkan sendiri. Jangan lupa bawa air mineral yang banyak karena udara di pulau sangat panas.
Kami sudah pesan perahu sehari sebelumnya. Kebetulan kami kenal dengan Pak Roli. Ia sering membantu kami apabila ada tamu kantor ingin pesiar ke Lihaga. Tak hanya itu, Pak Roli juga membantu mencarikan jaket pelampung dan peralatan snorkeling. Di pulau, tak ada penyewaan perlengkapan snorkeling. Memang peralatan itu harus dipersiapkan sendiri.
Tetiba di pelabuhan Likupang, Roli menyambut kami dan memberitahukan perahu yang kami sewa bernama "Getsemani" dengan cat merah biru di badan perahu dan di kapal sudah tersedia jaket pelampung untuk snorkeling.
Siang itu, suasana pelabuhan Likupang cukup ramai. "Ini turis-turis China mau pesiar ke Lihaga? Berapa kira-kira jumlah mereka?" tanya saya kepada Roli. Karena Roli sejak pagi sudah berada di pelabuhan, ia lalu bercerita, "Yah, saya lihat sekitar 15 perahu berangkat ke Lihaga dan setiap perahu diisi sekitar 30 wisatawan, jadinya sekitar 450 wisatawan. Itu baru turis China," jelas Roli sambil mengisap rokoknya.
Tercatat, 2017 ada 7.208 wisman asal turis China (Tiongkok) berkunjung ke Manado dan sekitarnya. Kalau setiap wisman, selama berlibur ke Bumi Nyiur Melambai, menghabiskan 1 juta rupiah, maka pendapatan daerah sekitar Rp. 7,2 miliar. Banjirnya turis China, didukung dengan adanya 19 penerbangan (charter flight) langsung dari kota-kota seperti Guangzhou, Changsa, Wulan, Sanghai, Shenzhen dan kota lainnya ke Manado.
Saya dan rombongan sedikit bersabar menunggu giliran berangkat karena saat itu, perahu-perahu wisata sedang melayani turis China. Saya melihat tiga petugas berjilbab mencatat nama perahu dan jumlah penumpangnya. Para turis China berkomunikasi dengan bahasa Mandarin yang tidak saya mengerti. Uniknya, ada yang memakai sepatu heels dan berpakaian ala seorang model dengan topi dan longdress-nya. Buat selfi kali ya.