Apa yang harus disiapkan untuk menikmati sunrise di Pinggan, Kecamatan Bangli, Kintamani, Bali? “Bangun pada subuh hari, jaket dibawa, jangan lupa bawa tripod dengan kamera dan filter, bawa bekal makan dan minum secukupnya, dan gunakan aplikasi Google maps. Oh ya lebih dari itu, adalah rasa penasaran harus ada” kata Wahyu sehari sebelum berangkat.
“Enggak pakai pendakian segala, karena di situ dataran tinggi” imbuh Wahyu sembari membandingkan spot matahari terbit di lokasi lain memerlukan pendakian, seperti Puncak Sikunir, Puthuk Setumbu, Gunung Andong, Gunung Mahawu, dll.
Apa yang disampaikan Wahyu saya ingat-ingat, sebelum Wahyu menjemput saya pagi buta di penginapan (8/1/2017).
Jarak tempuh dari Kuta ke desa Pinggan, ya dua jam lebih. Asumsi itu muncul, berdasarkan cerita teman Wahyu yang pernah ke lokasi sebelumnya. “Yang penting mengarah Kintamani dulu, lalu ikuti jalan ke arah Singaraja. Tak kurang dari 14 km dari Kintamani. Untuk ke Kintamani, disarankan lewat jalan Payangan, lebih dekat karena posisi di Kuta. Kemudian ikuti saja arah menuju desa Pinggan.lalu ikuti saja jalan menuju ke Pura Dalem Balingkang. Dengan catatan kalau sudah sampai di Pura itu berarti sudah kelewatan, harus balik jalan tak kurang 300 meter. Berhenti di dekat bak air” jelas Oka, teman kantor Wahyu.
Ini titik koordinat yang saya kutip dari aplikasi Compass di hp saya. Yaitu, berada pada 8o12’37”S dan 115o21’52”E di ketinggian 1300 mdpl (Elevation).
Mencari spot itu, menjadi pengalaman yang unik dan tak terlupakan bagi kami. Selepas dari penginapan sekitar jam setengah tiga pagi, mobil kami arahkan ke Kitamani lewat jalan Payangan. Sesaat setelah tiba di Pura Puncak Penulisan, danau Batur, Kintamani, belok kanan dan ikuti jalan memanjak dan gelap gulita. Tak hanya itu, jalan tidak mulus lagi. Lubang jalan menggoyangkan posisi badan di dalam mobil. Sepanjang jalan suasana sepi. Sesekali terdengar anjing menyalak. Udara dingin terasa menusuk di badan. Jalan berkelok-kelok naik dan turun membuat Wahyu menyopir dengan hati-hati.
Ada sekitar 10 menit menurut Google Maps yang harus kami tuju lagi. Namun keraguan memuncak ketika sampai di pertigaan Pura Dalem Balingkang. Terus atau belok kiri. Tak ada orang pada pagi buta itu. Kami memutuskan mengikuti petunjuk google maps meski masih ragu. Saat tiba di sebuah desa, ada truk sedang parkir dengan mesin menyala. Kami berhenti lalu bertanya. Singkat kata, kami disuruh berbalik dan mengikuti truknya. Saat truk itu belok, kami disuruh terus dan lihat kalau ada bak air, berhenti di situ.
Arahan itu kami ikuti. Dinginnya udara di luar mobil terasa menggigit. Hingga truk pasir itu menyalakan lampu sain untuk belok kekiri. Truk berhenti, sopir yang berbalut sarung Bali, turun dan memberitahukan agar kami agar terus saja.
Roda mobil bergerak sesuai dengan petunjuk sang sopir. Tak beberapa lama bak air yang dimaksud kami temukan. Sudah ada satu mobil dan sepeda motor diparkir di situ. “Mas ini tempat ambil foto sunrise?” tanya saya kepada seorang pemuda yang berdiri di samping mobil. “Ya pak, di sini”.
Setelah itu, kami menuju ke gundukan tanah persis di atas tempat parkir. Di situ, sekelompok anak muda sedang bercengkerama. Mereka juga sedang menunggu datangnya sunrise. Jarum jam menunjuk pada angka 04.35 wita. Langit masih gelap. Cahaya bintang tak tampak. Ini pertanda langit diselimuti oleh awan. Berdiri di spot itu, tampak siluet tiga gunung vulkanik yang konon masih aktif, yaitu Gunung Batur (1.717 mdpl), Gunung Agung (3.031 mdpl), dan Gunung Ambang (1.689 mdpl).
Sementara waktu terus bergerak menuju pagi. Hamparan pemandangan alam di kaki Gunung Batur mulai tampil mempesona. Betapa tidak. Kelap-kelip sinar lampu terpedar dari desa pemukiman, menambah indahnya suasana alam. Pun suara kesibukan operasional alat-alat berat dan truk-truk pembawa pasir di kawasan tambang galian C, batu dan pasir di Kaldera Batur Bangli, memecah kesunyian pagi dan menjadi irama musik berat atas lingkungan alam.