Sambil duduk di atas pagar BRC, kera-kera itu melahap makanan yang disodorkan para pengunjung. Tidak dikunyah lebih dulu, kera itu menyimpan makanan di rongga mulutnya. Tak ayal kedua pipinya menyembul. Sementara tangannya masih memegang erat untaian kacang rebus.
Saya melihat pengunjung juga memberi makanan roti biskuit, gorengan, bahkan gula-gula. Seorang anak kecil rela menyerahkan botol minumannya kepada kera yang sedang duduk di pinggir jalan setapak. Kera itu pun langsung meminumnya dengan cepat-cepat. Melihat aksi kera itu, anak kecil lalu tersenyum puas.
Hampir semua Kera-kera penghuni hutan Gua Kreo, siang itu (1/1/2017) "berpesta pora" menikmati Tahun Baru dengan menyantap makanan pemberian pengunjung. Tak hanya itu, pengunjung terhibur saat sesama kera berkelahi gegara merebut makanan. Di antara gerombolan kera itu, biasanya kera berbadan besar yang menjadi pemenangnya.
Memberi makan kera-kera penghuni Goa Kreo menjadi tujuan utama sebagian besar pengunjung. Selain menjadi hiburan, orang tua juga memanfaatkan situasi itu untuk mendidik anaknya bahwa memberi dengan tulus tanpa pamrih itu perbuatan yang baik.
Di sisi lain, lalu lintas pejalan kaki di sepanjang jalan setapak menuju puncak bukit Kreo menjadi padat merayap gegara ada aktifitas memberi makanan kera itu. Populasi kera ekor panjang di Goa Kreo berjumlah ratusan dan hidup bergerombolan. Setiap kelompok kera dipimpin oleh kera jantan berbadan kekar.
Sebenarnya habitat kera ekor panjang itu berada di sebuah pulau yang sekarang dikelilingi oleh air Waduk Jatibarang. Akses ke pulau itu sangat mudah karena telah dibuat jembatan penghubung dengan daratan. Maka tak heran siang itu para pengunjung memadati pulau itu untuk menikmati liburan tahun baru 2017. Selain ramai, jembatan itu tampak dipadati pengunjung yang pulang pergi ke pulau kera itu.
Goa Kreo memikat wisatawan untuk datang bukan karena terdapat habitat kera ekor panjang saja tetapi legenda cerita rakyat yang melatarbelakanginya menjadi daya tarik sendiri.
Goa Kreo ini tak bisa dipisahkan dengan kisah "Jatingaleh", senuah desa di Bukit Gombel Semarang. Pada waktu itu Sunan Kalijaga mengalami kesulitan untuk menebang sebuah pohon jati yang akan dijadikan saka guru Mesjid Agung Demak.
Anehnya pohon jati yang berada di lereng Bukit Gombel secara ajaib telah hilang secara tiba-tiba. (Itulah sebabya desa itu disebut "jatingaleh" artinya jati yang pergi).
Kemudian Sunan Kalijaga mencari tahu kemana hilangnya jati itu. Ternyata pohon jati tersebut berada di kawasan Goa Kreo dan tersangkut di bebatuan dekat sungai. Karena jati itu sulit diambil, Sunan Kalijaga bersemedi di goa Kreo. Dalam semedinya, datanglah kawanan kera bergotong royong mengambil jati itu dan berhasil. Bahkan kawanan kera itu rela membawanya ke Demak, tapi Sunan keberatan karena bukan manusia yang membawanya. Untuk membalas budi kepada kawanan kera itu, Sunan Kalijaga memberikan kewenangan kawasan hutan untuk di "ngreho" (dalam bahasa Jawa berarti memelihara/merawat).
Itulah sebabnya, mengapa kawasan hutan di bukit/pulau itu disebut oleh warga Semarang sebagai "Goa Kreo" hingga sekarang.