[caption caption="Indahnya Kupu-kupu di Danau Kassi Kebo (Dokpri)"][/caption]Masih pagi. Semilir angin bergulir sejuk menerpa di kulit. Pohon-pohon besar itu tumbuh merindang seperti payung bagi pejalan kaki di bawahnya. Sisa bau tanah sehabis hujan tercium di hidung. Jalan setapak masih kelihatan basah. Terdengar gemuruh di sekitar sungai. Belum banyak orang berwisata di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TNBB), di Maros, Sulawesi Selatan.
"Tiket masuknya Rp 25.000,- per orang" ucap seorang petugas di pintu masuk. Kami pun dipersilahkan masuk setelah menyodorkan dua lembar kertas yang kami beli di loket.
[caption caption="Monumen Kupu-kupu (Dokpri)"]
[/caption]Hari ini, Sabtu (26/3/2016) saya penasaran dengan Bantimurung. Betapa tidak. Julukan "The Kingdom of Butterfly" seperti menyihir saya untuk menjejakkan kaki ke tempat itu. "Di tempat ini sedikitnya ada 20 jenis kupu-kupu yang dilindungi dan uniknya species kupu-kupu itu hanya terdapat di Sulawesi Selatan" kata seorang pemuda yang tiba-tiba saja membuntuti saya dan teman saya sejak dari pintu masuk.
Menurut Alfred Russel Wallace, dalam buku "Indonesian Archipelago" (2009), setidaknya ada 250 spesies kupu-kupu di TNBB. Angka itu hasil dari penelitiannya antara tahun 1856-1857. Di buku itu, Alfred menggambarkan keindahan kupu-kupu putih (jenis Graphium Androcles) terbang membentuk awan.
Tanpa diminta, pemuda bak seorang pemandu wisata, bercerita banyak hal tentang Kerajaan kupu-kupu. Meski singkat, pemuda itu berusaha menjelaskan mengapa di Bantimurung ini dihuni banyak jenis kupu-kupu.
[caption caption="Sayapnya mulai patah (dokpri)"]
[/caption]"Kupu-kupu lebih suka di tempat yang lembab, dan suka hinggap dan mencari tempat untuk bertelur pohon yang disukai seperti bunga sepatu, bunga Asoka serta pohon jeruk, sirkaya, sirih hutan" katanya. Sambil menarik napas, pemuda itu melanjutkan kisahnya.
"Sekitar 2004, TNBB dikembangkan menjadi destinasi wisata alam. Ya terpaksa pohon-pohon yang disukai oleh kupu-kupu ditebang dan beton-beton mulai tumbuh untuk mempercantik objek wisata. Akibatnya, banyak kupu-kupu bermigrasi entah kemana. Sejak 16 tahun terakhir sudah jarang ditemukan kupu-kupu di sini," cerita pemuda itu kurang bersemangat.
Miris mendengar cerita itu. Pantas saya tak melihat kupu-kupu berterbangan di sekitar air terjun. Satu kupu saya lihat sedang terbang ketika menyusuri pinggiran sungai yang ujungnya air terjun. Tak jauh dari jembatan, seorang bapak mendampingi kedua anaknya bermain air di cekungan sungai sambil duduk di atas ban dalam.
[caption caption="Jembatan Air Terjun (Dokpri)"]
[/caption]Saya menyeberang jembatan dan langkah kaki saya arahkan ke air terjun. Kesenyapan alam di loket masuk kini berubah menjadi suara gemuruh air terjun. Tak terlihat seorang pun berani menyentuh derasnya air. Mungkin mereka takut terseret arus sungai yang saat itu tampak deras karena semalam hujan.
Puas melihat gemuruh air terjun, saya lalu menyeberangi jembatan dan mendekati air terjun dari sisi kiri yang ada anak tangga dan dibatasi pagar besi untuk pengaman. Pada saat saya berdiri di anak tangga itu, saya melihat sepasang muda-mudi sedang berpose minta difoto. Saya lalu menduga, di sini rupanya spot foto terbaik dengan latar belakang air terjun.
Tiba-tiba saya mendengar percakapan tiga orang anak muda yang berdiri di samping saya. "Tahu kenapa tempat ini disebut Bantimurung?" tanya pemuda yang berada di tengah. "Dulu sekitar tahun 1923, tersebutlah Kerajaan Simbang, bagian dari Kerajaan Maros, memiliki daerah-daerah yang dikuasai dan setiap daerah dipimpin oleh seoarang begelar Karaeng. Saat itu yang menjadi Karaeng Simbang adalah Patahoeddin Daeng Paroempa."