Lihat ke Halaman Asli

Tri Lokon

TERVERIFIKASI

Karyawan Swasta

Menatap Gerhana dari Puncak Tingtingon

Diperbarui: 2 Juli 2019   11:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gunung Klabat, Gunung Dua Bersaudara Bitung terlihat (dokpri)

Ada sebuah puncak yang lagi “ngetop” dibicarakan oleh warga Tomohon, baik melalui percakapan mulut ke mulut maupun media sosial. Nama bukit berpuncak itu disebut “Puncak Tingtingon, Rurukan Tomohon”.  Lokasinya tak jauh dari Gunung Mahawu atau lebih tepatnya di kaki gunung Gunung Mahawu (1.324 mdpl) sebelah Timur.

Puncak itu kerap dikatakan mirip Tebing Karaton di Bandung. Ketika berdiri di puncak, tergelar panorama alam Minahasa yang cantik nan indah. Gunung Klabat dan Gunung “kembar” Dua Bersaudara menghiasi  lanskap tanah “Toar Lumimuut” (Dewa-dewi leluhur orang Minahasa). Hamparan Danau Tondano dan sebagian perkampungan  Rurukan Tomohon terlihat melengkapi keindahan Minahasa dari ujung mata. Di sini, para pemburu “sunrise” dimanjakan saat matahari terbit melangkahi tanah Minahasa menuju Barat.

Informasi seperti itulah yang menggugah hati saya untuk memilih Puncak Tingtingon, sebagai lokasi untuk melihat Gerhana Matahari Total (9/3).

Disediakan tempat duduk untuk mengarah ke Gunung Klabat (Dokpri)

Pagi itu, bus Elf berkapasitas 13 orang bergerak meninggalkan halaman sekolah pada pukul tujuh pagi. Di dalamnya duduk para siswa anggota ekskul Jurnal dan Fotografi. Mereka berniat untuk menyaksikan peristiwa langka Gerhana Matahari Total (GMT). Beberapa siswa membawa kamera dan plastik hitam untuk melihat gerhana.

“Untuk Tomohon, kontak awal jam 07.33 WITA, puncak terjadinya gerhana 08.48 WITA dan kontak akhir 10.14 WITA, peristiwa gerhana di Tomohon hanya sekitar 97%. Jadi benar-benar tidak total,”  ucap saya mengutip dari informasi yang menyebar di media cetak.

“Jam tujuh sudah harus berangkat ya,” kata saya mengingatkan para siswa.

Nonton Bareng Gerhana (Dokpri)

Setelah melewati pasar beriman Tomohon dan jalur agrowisata Rurukan, tibalah kami di Puncak Tingtingon. Waktu tempuh tak kurang dari 20 menit. Seorang petugas sudah melambaikan tangannya untuk mengarahkan di mana bus kami parkir. Bus mendapat tempat parkir di ujung, di sebelahnya berderet mobil dan sepeda motor sudah lebih dahulu memadati lokasi parkir. Dari banyak kendaraan yang diparkir, antusias warga untuk menonton gerhana dari puncak Tingtingon cukup tinggi.

Setelah memberi uang lima ribu untuk parkir, kami diharuskan melapor di pos penjaga untuk mencatatkan diri dari mana asal dan siapa penanggungjawabnya. Uang partisipasi (donasi) kami berikan sebesar dua puluh ribu rupiah.

Begitu saya menginjakkan kaki  di halaman puncak Tingtingon, dan  setelah melewati anak tangga, kesan bahwa objek wisata yang baru ngetop memang betul. Sejumlah rombongan bergerombol memadati halaman yang cukup luas. Dengan gayanya masing-masing, mereka siap menyambut gerhana yang melintas.

Masker Las Listrik, dipakai juga (dokpri)

“Mau lihat gerhana? Pakai ini boleh. Satu menit hanya dua ribu rupiah.” tiba-tiba seorang Bapak menawarkan masker las listrik yang ada pegangannya kepada kami.

“Saya bayar 50 ribu untuk setengah jam bolehkah?” ujar seorang Tante sambil menyodorkan uang kepada Bapak tersebut. Ternyata bapak itu menolak, dengan alasan ia bawa masker las supaya orang banyak dapat melihat fenomena alam terhalangnya matahari oleh bulan. Meski dipaksa oleh Tante itu, pemilik masker tetap tidak mau menerima uang Tante itu.

Dialog dan kejadian itu saya lihat langsung. Akhirnya, masker boleh dipinjam gratis asal bergantian. Siswa saya bergantian melihat gerhana dengan masker las itu dan mereka bangga bisa menonton gerhana meski bergantian.

Bulan Sabit Gerhana (dokpri)

Peristiwa gerhana di Tomohon tak lupa saya abadikan lewat kamera. Meskipun gerhananya tidak total banget, lensa 125 mm dengan filter ND 400, bahkan saya tambah dengan ND 8, siap merekam fenomena alam gerhana dengan hasil yang lumayan.

Tibalah puncak gerhana. Tanda-tanda gerhana pada titik puncak, memang terasa di badan. Panas matahari tiba-tiba redup. Suasana seperti sore hari. Udara yang sejak pagi tadi panas tiba-tiba “mengeluarkan” rasa sejuk. Saat itu seperti sore hari, padahal jarum jam pada angka delapan pagi. Angin berhembus semilir membawa udara dingin hingga menyentuh pada kulit. Perubahan cuaca ini dirasakan oleh semua anggota rombongan. Bahkan, ada yang setengah berteriak.

“Pak kok ada rasa lain ya. Mulai dingin. Padahal tadi panas,” ungkap Amanda sambil berusaha memotret gerhana dan teman-temannya yang sedang bergerombol melihat gerhana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline