Lihat ke Halaman Asli

Tri Lokon

TERVERIFIKASI

Karyawan Swasta

Sore-sore Enaknya Menyantap Midal

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13906529301671519990

Langit sore itu diselimuti awan kelabu. Kabut putih tampak menutupi puncak Gunung Lokon. Udara dingin pegunungan terasasejuk di badan. Saya, Ine dan Bobby turun dari Daihatsu Xenia putih yang dikemudikan Johny.

Sebelum turun, masih dalam mobil, Ine bilang “Sore-sore makan Midal enak nih” Lalu saya langsung jawab, “Boleh.boleh.boleh. Mau cari makan di mana?” tanya saya. Lalu Ine bilang, “John, di warung sebelah rumah ngana neh” ujar Ine kepada sang sopir.

[caption id="attachment_308209" align="alignnone" width="600" caption="Midal Makin Sadap Jika Ditambah Kecap dan Rica Rowa"][/caption]

Kami berempat masuk ke warung sederhana di pojok jalan Pariwisata, Tomohon. Setelah duduk di atas kursi plastik, Ine lalu pesan kepada Tanta yang sejak tadi menyambut kami. “Tanta kita pesan Midal tiga. Satu lagi tanpa mie” pesan Ine kepada Tanta pemilik warung. Lalu Tanta godek (gemuk) itu balik kanan menuju dapur. Di meja lain, duduk empat remaja putri sedang menikmati mie cakalang, midal dan tinutuan dengan lahapnya.

Di luar warung, gerimis kecil turun dari langit. Cuaca seperti ini sudah biasa karena posisi Tomohon berada antara 900-1200 m di atas permukaan laut. Gunung Lokon dan Gunung Mahawu seperti memeluk kota Tomohon sehingga setiap sore dan malam tiba, tak heran di perkampungan itu hawanya dingin sejuk.

“Marjo makan” ajak Bobby setelah pesanan tiba di meja. Serentak kami pun memandang Midal dan Tinutuan masing-masing. Agar terasa sedap, saya tambahkan rica rowa, sambal yang terbuat dari ikan rowa dicampur nike (ikan kecil-kecil). Sedikit kecap, saya campurkan juga. Saya lihat teman-teman saya yang memang asli Tomohon juga melakukan hal yang sama. Tentu sesuai dengan ukurannya masing-masing. Rica rowa menjadi campuran yang banyak disukai karena pedasnya.

[caption id="attachment_308211" align="alignnone" width="600" caption="Ini lho Wujud Midal"]

13906530562023084177

[/caption]

Sambil menikmati Midal, saya tanya kepada mereka“Ngoni tahu, sejarah Midal?” Ine pun menjawab pertanyaan saya. Diceritakan bahwa Midal sebenarnya varian dari Tinutuan atau bubur Manado. Dengan menambah Tinutuan dengan mie, jadilah Midal.

“Menurut Opa-Opa kita, Tinutuan sudah ada sejak jaman Belanda. Kata Opa, Tinutuan dimakan di kebun dan makannya rame-reme beralaskan daun pisang. Bukan di piring seperti sekarang. Bahan utama Tinutuan, kata Opa saya, dari konga yaitu tepung milu (jagung) paling halus, tapi bukan beras jagung. Lalu untuk jadi Tinutuan, konga dimasak dengan campuran daun pepaya, ubi ketela dipotong-potong kecil lalu ditambah ujung ketimun Jepang dan Sambiki (labu)” cerita Ine dengan semangatnya sambil mengenang masa kecilnya. Katanya ia sering diajak Opa pergi ke kebun dan kemudian makan Tinutuan di kebun.

[caption id="attachment_308438" align="alignnone" width="600" caption="Aneka Sayuran Untuk Bubur Manado"]

13907494142071310125

[/caption]

Sambil mendengarkan cerita itu tak terasa Midal saya sudah habis. Perut pun tak lagi keroncongan dan badan terasa hangat. Pedasnya rica rowa masih menggoyang lidah. Bobby menyodorkan segelas air putih kepada saya setelah melihat wajah saya memerah seperti kepiting rebus karena pedasnya rica.

Untuk empat porsi kami bayar Rp. 28.000,- tanpa tambahan meski dijual juga pisang goreng. Air putih gratis dan sudah tersedia di setiap meja dengan gelasnya. Hampir di semua warung di Tomohon menyediakan air putih secara gratis. Kecuali kalau pesan teh gula atau kopi hitam ya harus bayar.

[caption id="attachment_308440" align="alignnone" width="600" caption="Bahan Sambal: Dabu-dabu atau Rica Rowa"]

13907494991559496917

[/caption]

Johny sudah menghidupkan Xenia dan siap mengantar kami ke pusat kota Tomohon. Dalam perjalanan ke pusat kota,saya sebagai pedatang dari Jawa, masih penasaran dengan Midal yang saya santap tadi. Betapa tidak. Tunutuan dan Midal sudah menjadi makanan yang merakyat. Tak hanya itu saja, tinutuan sudah menjadi menu keseharian dan sering disajikan saat istirahat sekolah dan sore hari jelang makan malam tiba. Banyak warung-warung di lorong-lorong kampung menjual Tinutuan. Biasanya warung itu juga menawarkan mie cakalang atau mie bak. Popularitas Tinutuan saya rasa sejajar dengan warung-warung bakso kalau di Jawa.

“Sejak saya SD hingga sekarang ada warung Tinutuan yang masih bertahan hingga sekarang. Warung itu berada di Kamasi sebelah Barat pusat kota. Depe rasa sejak dulu tetap enak” kisah Bobby mengenang masa kecilnya.

[caption id="attachment_308214" align="alignnone" width="600" caption="Di Warung, Satu Porsi 7 Ribu"]

13906534192017723310

[/caption]

Tinutuan memang sudah menjadi makanan populer masyarakat Minahasa (orang Manado). Saking populernya Tinutuan, kota Manado, di jaman Walikota Jimmy Rimba, mengeluarkan Perda untuk menetapkan Manado sebaga kota Tinutuan. Jika anda berwisata ke Manado, jangan lupa mampir ke jalan Wakeke untuk mencoba kuliner Tinutuan ini. Sepanjang jalan Wakeke, banyak rumah makan berjualan bubur Manado (Tinutuan).

Kisah tentang Midal dan Tinutuan tadi masih dilanjutkan di mobil sebelum sampai di pusat kota. Secara adat, Tinutuan disajikan saat tuan rumah menggelar pesta perkawinan. “Sebagai syarat bahwa perkawinan ini dilaksanakan secara adat Minahasa di tanah Toar Lumimuut” cerita Ine, istri Bobby. Tak hanya menjadi pelengkap adat perkawinan tetapi ketika berkumpul bersama sanak saudara, seperti Mapalus (kerja sama) dalam menyiapkan acara kedukaan, bersih desa, acara ulang tahun, bubur Manado menjadi hidangan penghangat badan dan rasa kebersamaan. Torang semua basaudara.

“Berbeda pada jaman Opa saya, bahan utama Tinutuan adalah bubur sambiki (labu kuning) dan tak lagi pakai tepung milu halus seperti dulu dan depe rasa (dia punya rasa) juga lebih lezat apalagi sayuran yang dipakai lebih banyak seperti kangkung, kedi, ubi talas, daun ubi ketela” cerita Ine dengan semangatnya. Oh ya setelah masak dan ditaruh di piring, biasanya ditabur potongan tahu agar rasanya makin nendang.

[caption id="attachment_308212" align="alignnone" width="600" caption="Perkedel Nike, Enak juga Disantap Bersama Midal"]

1390653123560226929

[/caption]

Bagi orang Jawa, bubur Manado sejauh mata memandang, tak begitu menarik tampilannya. “Klentrek-klentrek dan banyak sayurannya” batin saya. Tapi kalau sudah menyentuh lidah, wah susah deh menceritakan karena saking enaknya he he he.

Midal dan Tinutuan adalah saudara kembar. Sama halnya dengan sejarah dan tradisi adalah sepasang kekasih yang naik ke pelaminan dan kemudian menghasilkan kuliner-kuliner rakyat yang dilestarikan dari opa hingga cucu- cicitnya. Itulah Midal dan Tinutuan sebagai makanan khas di Manado, Tomohon, Minahasa dan sekitarnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline