[caption id="attachment_224506" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS/Lucky Pransiska)"][/caption]
Beberapa waktu lalu, teman saya dari Bandung ingin berlibur ke Manado, Tomohon, Bitung, Minahasa dan sekitarnya. Teman saya minta dijemput di bandara. Mereka juga minta saya untuk mengantar ke tempat-tempat wisata. Untuk itu, saya mencari rental car untuk menyambut teman-teman saya yang ingin berlibur ke Manado.
Seperti biasanya sebelum berangkat menjemput mereka di bandara, kendaraan sewa yang saya pakai, terlebih dahulu saya isi bensin di SPBU. Waktu untuk mengisi bensin dan menjemput di bandara, harus saya perhitungkan. Soalnya, setiap kali isi bensin saya harus antri panjang. Nggak usah heran kalau melihat kendaraan yang antri mengular hingga meluber di jalan raya.
Kondisi sekarang ini, volume jumlah kendaraan meningkat tapi tidak sebanding lurus dengan pasokan BBM di SPBU. Tercatat, rata-rata per bulan ada 400 unit kendaraan baru muncul di Manado. Sementara itu, jumlah SPBU di Tomohon hanya ada dua. Selebihnya ada di Manado tak kurang dari 10 SPBU.
Pemandangan banyak kendaraan antri mengisi bahan bakar, barangkali jarang terjadi di pulau Jawa. Tapi, itulah yang saya lihat di hampir seluruh SPBU di Sulawesi Utara. Antri hingga berjam-jam memang membosankan dan menyita banyak waktu.
Dilematis memang. Ini yang dirasakan oleh Yongky teman saya. Rasa nyaman dan tidaknya mengantri bensin di SPBU, membuat bimbang Yongky, teman saya yang kebetulan mengantar saya dan teman-teman pakai mobil APV-nya, menuju ke suatu perkumpulan.
“Torang mo cepat. Kalau suka ba antri di pompa, lama dapa itu minyak (bensin). Beli jo bensin botolan (eceran) di pinggir jalan” ucap teman yang duduk di belakang. “Butul, so mo cepat nih. Biar mahal dikit, tapi boleh cepat torang mo pigi” lanjut Yongky
“Di SPBU, bensin Rp. 4.500,- tapi torang beli di eceran harga Rp. 6.500,-. Dorang untung per liter Rp. 1.500,- kata saya ikut nimbrung pembicaraan soal kelangkaan bensin dan solar yang menjadi bahan pembicaraan hangat masyarakat akhir-akhir ini.
“Kita pe teman, berhasil kredit mobil baru hanya karena jualan bensin eceran di pinggir jalan” kata Yongky yang sehariannya mengelola bengkel, jual spare part mobil dan tempat cuci mobil. “Ah yang benar?” komentar teman lain.
Yongky pun bercerita panjang lebar tentang bisnis bensin dan solar eceran yang akhir-akhir marak di pajang di sepanjang jalan raya. Uniknya, penjual bensin itu hanya sekitar 500 meter dari SPBU. Miris melihatnya. Sementara banyak yang antri. Tak jauh dari SPBU ada yang jual bensin/solar eceran.
Dengan semangatnya, diceritakan bisnis bensin eceran. Sehari kurang lebih ada 20 mobil dan rata-rata membeli lebih dari 10 liter. Jadi jika ada 200 liter terjual. untung yang diraup, Rp. 1.500,- x 200 = Rp. 300.000,-. Tak hanya mobil, tapi sepeda motor juga mengisi bensin yang hitungannya per sepeda motor minimal beli dua botol/liter. Kalau per hari ada 40 sepeda motor maka terjual 80 liter per hari. Untung, 80 x Rp. 1.500,- = Rp. 120.000,-
“Jadi per hari, mereka harus stock bensin minimal 300 liter. Bisakah isi bensin 300 liter di SPBU?” tanya saya. “Ada banyak cara untuk mendapatkan bensin sebanyak itu. Gunakan pick up yang kapasitas tangki 60 liter. Jadi, sehari bisa 5 kali bolak-balik antri ke SPBU. Agar tidak “menyolok” (alias dicurigai) gunakan pick up yang berbeda” lanjut Yongky dengan semangatnya.
Trik-trik mendapatkan bensin sebanyak itu, tak kurang akal. Angkutan publik seperti Mikrolet, Bus bisa digunakan juga. Bahkan, ada anggapan di masyarakat lebih untung berjualan bensin eceran daripada “mengompreng” angkut penumpang. Naik mikrolet, setiap penumpang bayar Rp. 2.000,- ke kota. Di luar kota, bayar Rp. 3.500,- Setiap mikrolet bisa bawa penumpang ke kota sepuluh hingga dua belas orang. Jadi satu kali rit, sopir mikrolet bisa mengantongi Rp. 24.000,- Sehari mikrolet bisa bolak balik hingga 6 kali dan membawa pulang uang 6 X Rp. 24.000,- = Rp. 144.000,- Perhitungan enam kali ini, berdasarkan jumlah mikrolet yang banyak beroperasi.
Hukum ekonomi, makin meningkat permintaan akan sesuatu barang, semakin menggoda orang untuk berjualan sesuai dengan meningkatnya permintaan akan barang itu. Itu yang berlaku. Apakah logika itu melawan hukum? Disebutkan, bagi masyarakat yang menimbun BBM terkena pasal 53 juncto pasal 23 UU No 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas, dan Perda Sulut No. 16 tentang pengawasan penimbunan BBM. Hukuman 6 tahun penjara buat para penimbun BBM.
Jadi, bagi penjual bensin eceran, keuntungan sudah di depan mata. Bahkan usaha mereka membantu para pemakai kendaraan untuk tidak perlu antri lama-lama di pompa bensin. Untuk mendapatkan bensin lebih cepat di eceran daripada antri di SPBU. Di lain pihak SPBU pun terpengaruh dengan quota pasokan BBM. Tak ada cerita habis persediaan bbm di SPBU langsung diisi ulang mirip isi ulang aqua gallon. Tak hanya itu saja, mengerem jumlah penjualan kendaraan baru sekalipun dengan sistem kredit, adalah sia-sia karena bisnis kendaraan sudah menggurita dan berbagai macam merek kendaraan sudah beredar di Indonesia.
Niat pemerintah untuk memberantas para penimbun dan penadah yang kemudian dijual secara eceran memang sudah ada. Saat menjelang kenaikan BBM yang lalu, pengawasan soal itu sangat ketat. Namun, sekarang penjual bensin/solar eceran sudah menjamur lagi. Ironisnya, mereka jualan tak jauh dari SPBU yang banyak kendaraan lagi antri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H