[caption id="attachment_213687" align="aligncenter" width="640" caption="Hilangkan Capek Dengan Pijat Kaki Rendam Air Panas (dokpri)"][/caption] Roda dua bus Pariwisata bercat Merah Putih dan bertuliskan “Visit Indonesia Year 2010”, secara pelan namun pasti, bergerak meninggalkan hawa sejuk Alamanda Retreat, rumah penginapan di kaki Gunung Mahawu, Tomohon. Saat itu jam menunjukkan pukul 11 lebih lima menit. Langit di hari Minggu (28/10) tampak biru dan kehangatan udara terasa hingga di dalam bus ber AC. Saya berada di bus terdepan bersama setengah dari 41 tamu dari Bontang, Kalimantan Timur yang sejak Kamis malam (25/10) “check-in” di Alamanda. Berdasarkan agenda acara yang telah disusun, hari ini kami akan mengunjungi 3 objek wisata di Minahasa. Yaitu, Danau “berwarna” Linow, Bukit Kasih Kanonang, dan Danau Tondano. Sepanjang perjalanan wisata itu, saya bercerita tentang nenek moyang rakyat Minahasa yaitu Toar dan Lumimuut. Secara singkat saya katakan bahwa pada tahun 1206, Genghis Khan Mongolia, bersma panglima perangnya bernama Toar Lahope dikisahkan sukses menguasai daerah Eurasia hingga Asia Tenggara. Lumimuut adalah kekasih Toar yang berparas cantik dan bersikap halus dan berbudi dalam setiap tutur kata. Kecantikkan Lumimuut ini membuat iri Ogedei Khan, anak Genghis Khans sehingga berniat membunuh Toar. Singkat cerita, Toar Lumimuut berhasil lolos dari kejaran pasukan Ogedei dan melarikan diri hingga ke Pulau Lihaga di Minahasa Utara. Kemudian pindah ke pulau Bangka, karena di Lihaga tak ada sumber air. Di pulau Bangka mereka tinggal di rumah wanita tua sekaligus yang dituakan, bernama Karema. 1216 Karema menikahkan Toar dan Lumimuut dan tinggal di Likupang (daratan Sulawesi) hingga 3 tahun. Pasukan Ogedei Khan masih mengejar Toar Lumimuut hingga di Likupang. Karena itu Toar lari ke pegunungan Kanonang (Minahasa Induk) tahun 1269 hingga berusia 86 tahun. Wajah Toar Lumimuut dipahatkan di dinding tebing objek wisata Bukit Kasih Kanonang, untuk dijadikan monumen asal usul rakyat Minahasa sekaligus mengingatkan pengunjung akan cerita rakyat Toar-Lumimuut. Sembari bercerita, tak terasa bus pariwisata sudah memasuki area Danau Linow. Kekaguman alam ciptaan Tuhan dengan warna air danau yang bergradasi antara hijau putih-tosca-biru muda-biru tua oleh pancar an sinar mentari siang dengan hembusan sejuk air danau, tak urung membuat kami membuat kenangan bersama dalam foto. [caption id="attachment_213688" align="aligncenter" width="640" caption="Tugu Toleransi Saksi Daya Tarik Pijat Kaki (foto: dokpri)"]
[/caption] Jam menunjuk pukul setengah dua siang, kami meninggalkan Danau Linow. Segala keindahan alam itu menjadi memori langka hingga dibawa ke Bontang, Kaltim. Perjalanan selanjutnya menuju ke Bukit Kasih Kanonangm Kecamatan Kawangkoan. Sekitar satu jam akhirnya kami sampai di Bukit Kasih setelah membayar tiket masuk objek wisata yang di andalkan oleh Propinsi Sulut ini. Seperti biasanya, kedatangan rombongan Bontang yang berseragam kaos orange, disapa oleh petugas melalui pengeras suara, sembari mengingatkan untuk donasi objek wisata ala kadarnya. Tak hanya di sapa, beberapa penjual asongan topi, pernak-pernik hiasan timah putih serta beberapa anak remaja berupaya mengajak komunikasi setiap pengunjung yang datang. Merka menyambut sekaligus menyapa sambil bercerita tentang objek wisata dan menawarkan jasa memotret dengan sudut pandang seolah-olah memegang puncak tugu “Toleransi”. Jasa lain yang disampaikan adalah mengantar ke puncak hingga sampai pada 5 tempat ibadah agama yang menjadi ikon “kasih” bukit Kanonang ini. Pengunjung tak hanya berhenti di sekitar Tugu Toleransi untuk berfoto, tetapi terus melanjutkan ke area sumber air panas alami yang digunakan untuk merebus jagung atau telur. Di sepanjang jalan menuju lokasi sumber air panas itu, terdapat warung-warung yang ramai dikunjungi wisatawan. Setiap pemilik warung menyapa pengunjung untuk singgah. Saya dan sebagian rombongan pun akhirnya singgah di warung itu. Sebelumnya ada kesepakatan, kalau ada yang mau naik ke puncak tempat ke lima rumah ibadat dibangun dan berjalan melalui 1000 tangga, dipersilahkan, dan yang lain menunggu di warung ini. [caption id="attachment_213689" align="aligncenter" width="640" caption="Ibu-ibu Menikmati Kakinya Dipijat (foto: dokpri)"]
[/caption] “Bapak-Ibu mau pijat kaki? Silahkan duduk di sini atau di bawah payung tenda di muka sana” kata Pa’ce pemilik warung sambil mengibas-ibaskan kipas di atas tungku pembakaran jagung bakarnya. Kami berunding sejenak dan akhirnya mau juga dipijat dan duduk di tempat yang ada bak-bak air panas. Kaki pun direndam di air panas itu, sambil menunggu sejenak pemijatnya. Suasana lokalisasi pemijatan kaki oleh “anak buah” Pa’ce pemilik warung menjadi pemandangan umum di setiap warung yang ada. Tua, muda, anak pun tak ketinggalan untuk pijat kaki. Meski saya sering mengantar tamu datang ke Bukit Kasih, saya merasa dikejutkan banyaknya bak-bak pemijatan kaki itu. Tak heran hal ini mengubah mindset saya tentang objek wisata Bukit Kasih, dengan menjamurnya lokalisasi pemijatan kaki di sini. [caption id="attachment_213690" align="aligncenter" width="640" caption="Di Bawah Payung, Juga Ada (foto: dokpri)"]
[/caption] “Daya tarik Bukit Kasih sekarang ini bukan lagi tugu toleransi atau 5 tempat ibadah yang dipuncak dan kurang terawat, tetapi lebih didominasi oleh “spa kaki” (pijat kaki) yang disediakan oleh para pemilik warung dengan menyediakan bak-bak pemijatan baik di dalam warung maupun di luar warung di bawah payung besar “ ungkap Pak Jarot sambil menggulung celananya untuk siap dipijam sambil kedua kakinya direndam di bak air panas dari sumber alami. Tampak senyum nikmatnya tergambar di raut wajahnya sesaat pemijat mulai beraksi. [caption id="attachment_213691" align="aligncenter" width="640" caption="Remaja Tanggung (foto: dokpri)"]
[/caption] Siapakah para pemijat itu? Pertanyaan ini menarik untuk disampaikan. Para pemijat sebagian besar adalah “anak buah” para pemilik warung yang sudah terbiasa melayani tamu. Tapi jangan heran kalau para pemijat itu adalah para penjual asongan dan guide tour “remaja” lokal yang tadi ikut menyambut di pintu masuk persis di arena tugu toleransi. Mereka adalah komunitas yang berprofesi ganda. Ketika ada yang ingin dipijat, tak segan-segan dagangannya dilepas dan kemudian beraksi menjadi pemijat kaki para wisatawan. Demikian anak-anak remaja yang menampilkan diri menjadi guide lokal. Jika mendapat kesempatan memijat, langsung diterimanya dengan senang hati. Uniknya, sambil dipijat kita bisa memesan secangkir kopi dan makan jagung bakar yang tersedia di tempat itu. Menu kuliner lain di warung pemijatan itu ada pisang goreng dengan sambel rowanya atau pesan makan ala Minahasa juga ada. [caption id="attachment_213693" align="aligncenter" width="640" caption="Jagung Rebus Dimasak Di Sumber Air Panas (foto: dokpri)"]
[/caption] Menjelang pukul empat sore, kami meninggalkan Bukit Kasih dengan segudang kenangan akan lokalisasi “pijat kaki” dan kreatifitas masyarakat setempat dalam upaya meningkatkan ekonomi kerakaytaan di daerah wisata. Sayang usaha baik itu belum didukung dengan bangunan dan infrastruktur yang nyaman dan terkesan sangat sederhana serta kurang ditata dengan baik. Mungkin pengelola Bukit Kasih akan menatanya hingga menjadi objek wsiata yang menarik, nyaman dan aman bagi wisatawan. [caption id="attachment_213694" align="aligncenter" width="640" caption="Lokalisasi Pijak Kaki Di Bukit Kasih (Foto: dokpri)"]
[/caption] Tulisan terkait Spa Kaki Di Bukit Kasih Mengunjungi Tugu Tolerensi di Bukit Kasih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H