Lihat ke Halaman Asli

Tri Lokon

TERVERIFIKASI

Karyawan Swasta

Awasi Konfliktual Bulutangkis, Merambah Pilgub DKI Putaran Kedua

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1343905269288876963

[caption id="attachment_197781" align="aligncenter" width="630" caption="Saling Terkait (dok.pribadi)"][/caption]

Badminton World Federation (BWF) Rabu kemarin, (1/8) terpaksa mengeluarkan kartu hitam kepada pasangan ganda putri Indonesia dan gagal melaju ke perempat final Bulutangkis Olimpiade London 2012. Artinya, pasangan ganda putri Indonesia mendapat ganjarandiskualifikasi, karena tidak bermain sportif atau telah melanggar code of conduct pasal 4.5 dan 4.16 yang intinya tidak bermain sungguh-sungguh dan menghina “fair play”nya bulutangkis. Asa menambah medali pupus sudah.

Saya terus terang terhenyak ketika sportifitas dalam olah raga dikorbankan dengan dan oleh pertandingan “main sabun”, atau bermain tidak sportif hanya untuk menghindari lawan selanjutnya. Jika sportifitas dalam pertandingan tak diindahkan, miris rasanya.

Situasi seperti itu berpeluang konfliktual di ranah Pilkada, jika para peserta Pilkada tidak bersikap sportif dan cenderung ber“main sabun” alias berkampanye hitam.

Di satu sisi “fair play”nya Pilkada adalah perwujudan dari demokrasi dalam era otonomi daerah. Namun, ketika orang melihat Pilkada sebagai ajang perebutan kuasa dan duit, bisa jadi sikap sportif akan ditinggalkan. Anarkis, kampanye hitam, pencitraan buruk terhadap lawan, sengaja diplih untuk memenangkan Pilkada meski harus menabrak rambu-rambu berdemokrasi.

Pasangan ganda putri Indonesia mungkin dalam hati akan bermain sportif dan “all out” untuk memenangkan pertandingan, tetapi karena melihat fakta di lapangan dan demi strategi untuk menang, (karena sistemnya begitu) maka terpaksa mereka ber“main sabun”, kendati akibatnya menanggung rasa malu dan dicela publik.

Ibarat sebuah pertandingan, Pilkada mengalami hal sama, kalau “cakada” (calon kepala daerah) dan tim suksesnya bermain di wilayah yang tidak sportif dan melawan sifat Pemilu yang “Jurdil dan Luber”. Jika dipaksakan demi sebuah sistem Pilkada yang mengharuskan hanya ada satu pemenang, dan oleh karena itu menggunakan “black campaign” maka peluang konfliktual Pilkada makin tinggi kadarnya.

Isu primordialisme menjadi salah satu peluang konfliktual yang subur dalam Pilkada. Buktinya tim sukses begitu gencar mengangkat isu-isu SARA. Contohnya, apakah mau Jakarta dipimpin oleh orang China? Suku Betawilah yang layak memimpin rumah tinggalnya Jakarta. Tak hanya isu itu, perseteruan organisasi kepemudaan dan kemasyarakatan yang saling tidak akur bisa digunakan untuk komoditas poltik jelang Pilkada.

Lalu lintas repotase dan opini pro dan kontra terhadap salah satu pasangan Pilgub DKI begitu gencar diposting di Kompasiana. Pembaca yang kritis dan memiliki hati nurani yang bersih, kiranya secara arif akan mem-filter repotase dan opini tentang Jokowi-Ahok atau Foke-Nara yang bernada negatif dan memojokkan. Biarkanlah demokrasi Pilgub DKI yang menentukan siapa menang dan siapa kalah di putaran ke dua September nanti.

Jadi, “main sabun” (bulutangkis gajah) di ajang Olimpiade dan kampanye hitam di ajang Pilkada, sama-sama tidak sportif. Tak hanya itu, tindakan tidak sportif dalam Pilkada bertentangan dengan sifat Pemilu yang Jurdil dan Luber. Introspkesi adalah solusi setelah melihat kejadian dan fakta didiskualifikasi pasangan ganda putri bulutangkis Indonesia di ajang Olimpiade London 2012. Introspeksi juga bisa dilakukan mengapa pasangan Jokowi-Ahok, bisa menang di putaran pertama padahal prediksi lembaga survei yang menang adalah pasang “incumbent” Foke-Nara. Fakta di lapangan berkata lain, bisa jadi kesadaran berdemokrasi pemilih makin dewasa tak terpengaruh oleh isu-isi SARA yang sengaja ditebarkan.

Pilgub DKI, memang fenomenal. Ganjaran diskualifikasi yang diterima pasangan ganda putri di Olimpiade 2012, juga fenomenal. Keduanya menghenyakkan dan membuat kaget publik yang kritis historis terhadap nilai-nilai luhur yang bernama sportifitas, fair play, jurdil, luber dan demokrasi.

Atlit, peraih medali di Olimpiade 2012 dijanjikan akan menerima bonus uang yang nilainya tidak sedikit. Bonus uang ini selain memotivasi semangat bertanding juga memicu untuk bermain demi strategi pemenangan. Demikian juga dalam Pikada, uang dan kekuasaan memicu terjadinya konflik horisontal antar pemain, pemilih atau kelompok sosial pemilih.

Sebenarnya peluang konfliktual Pilkada itu bisa dihindari. Asal publik sejak dini memiliki pemahaman dan pengertian bersama bahwa Pilkada itu ajang uji coba pluralisme politik tanpa melahirkan konflik terpola yang berbasiskan etnik, agama atau segala bentuk kebudayaan. Nilai-nilai sportifitas harus dijunjung tinggi. Bukan jamannya lagi “money politic” diandalkan untuk sebuah perubahan sosial politik di negara ini. Jalankan saja pesta demokrasi itu aman, terkendali dan lancar. Bermainlah “all out” dan sportif saat bertanding agar publik senang dan terhibur.

“Pilkada itu memungkinkan terjadinya kesatuan kultural yang merangkul semua kelompok sosial. Dari Pilkada terlahir, suatu politik peradaban dalam membangun suatu demokrasi” ujar saya kepada teman yang gemar menonton tayangan olah raga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline