[caption id="attachment_194641" align="aligncenter" width="504" caption="Memproduksi Foto atau Pewarta Foto?"][/caption]
Akhir-akhir ini, jurnalisme warga begitu cepat berkembang seiring dengan makin canggihnya perangkat media mainstream yang makin modern. Partisipasi warga dalam kontek menciptakan berita untuk sebuah newspaper bagi siapa saja dan yang gampang sekali diakses, boleh dibilang makin tumpah ruah ke mana-mana.
Tak heran, kalau sekarang ini reportase warga tak hanya berwujud tulisan saja tetapi sudah menempatkan foto sebagai bagian penting dari jurnalisme warga. Citizen image? Betul. Foto bukan lagi asal jepret tetapi foto (citizen image) kini bisa bercerita sendiri tentang kejadian, kedetailan news, tentang keaslian berita dan mengedepankan seni fotografi yang sarat akan pesan.
Rambahan kapling jurnalisme warga makin meluas saja. Audio Visual pun kini sudah dibroadcast menjadi jurnalisme warga. Publishing buku oleh Fiksi Community, atau self-publishing bisa jadi kedepan menjadi tren dari jurnalisme warga. Itu bisa dimaklumi. Merebaknya komunitas jurnalis warga di Kompasiana dan kanal lainnya, seakan menggelayut untuk menggapai keperkasaan jurnalisme warga.
Kampret, (Kompasianer Hobi Jepret), sebuah production house? Maksud saya, sudah ratusan foto yang diproduksi oleh komunitas Kampret ini. Kiprahnya selain meracuni kompasianer agar foto-foto yang dijadikan ilustrasi dalam setiap postingan, tak asal jepret tetapi berkualitas minimal ngerti menggunakan beragam kamera dengan cerdas.
Produk foto yang dihasilkan oleh Kampretos (anggota Kampret) sudah beberapa kali dijadikan ilustrasi HL oleh admin. Senangnya tak hanya tulisan yang HL tetapi foto pun bisa HL karena dipakai admin untuk ilustrasi tulisan/opini teman-teman Kompasianer. Bagi saya ini kemajuan dan sekaligus memotivasi agar lebih bermanfaat sebagai bagian dari jurnalisme warga.
James W Fowler, psikolog dan teolog Amerika, 1940 mengatakan, “Jangan hanya terpaku pada belief, religion dan faith hanya sebagai ungkapan religius statis saja tetapi gunakanlah “faithing” untuk makin ultim melihat perkembangan jaman lebih pada titik essensi daripada sensational”. Mungkin, istilah faithing sangat tidak popular. Meski sebenarnya kata faithing sering dipakai dalam keseharian. Buktinya apa?
Fowler menyebut faithing sebagai bagian aktus dinamis personal manusia dalam upayanya untuk mencari makna dan arti kehidupan. Ada tiga dimensi dalam struktur faithing atau kepercayaan eksitensial yaitu pengertian, pengartian dan dimensi relasi subyek dan objek yang berarti.
Untuk lebih jelasnya soal faithing, lima foto Kampretos berikut ini saya gunakan untuk menguak faiting-nya jurnalisme warga dan pewarta foto. Mengapa memilih foto-foto itu? Karena selain saya dihadapkan pada sebuah pilihan yang mengharuskan lima foto, juga dalam memilih pilihan itu saya meniscayakan “konsep” faithing atau kepercayaan eksitensialnya Fowler sebagai semangat dalam berjurnalis warga.
Tapi tunggu sebentar. Soal pilih memilih kok saya jadi ingat Pilkada DKI ya. Dalam hati, seandainya pemilih pakai faithing (kepercayaan eksitensial) maka kriteria pemimpin yang smart, kharismatis, visioner, masih muda dan energik, populis bukan elitis, punya komitmen untuk kesejahteraan bagi rakyat, berwawasan tidak gaptek, akan menjadi acuan dalam pencoblosan Pilkada itu. Yah, semoga aja generasi muda DKI “faithing” dalam memilih Gubenur dan Wakil Gubenurnya.
[caption id="attachment_194645" align="aligncenter" width="300" caption="Dok. Foto oleh Granito"]
[/caption]
Foto (Macro) Granito tentang setangkai bunga merah dengan latar belakang tembok coklat kekuningan, sepintas terbaca sebagai foto minimalis karena hanya ada tiga warna yang menonjol dalam foto ini. Kerumitan melawan atau dilawan dengan kesahajaan pada hakekatnya adalah pribadi yang berkualitas. Bayangkan saja, hidup manusia terbebani dalam mulidimesional pluralistik dan heterogen sebagai data vulgar yang ada. Kondisi itu makin parah jika dibebani dengan ketidaksahajaan dalam bicara, sikap, good will, apalagi manajemennya. Itulah faithing dalam foto Granito.
[caption id="attachment_194643" align="aligncenter" width="300" caption="Dok. foto oleh Ipung Soerjodinoto"]
[/caption]
Ujung gitar tak utuh diterpa sekelebat cahaya selain berkisah kurang utuh tetapi uniknya siapa pun yang melihat akan yakin itu foto tentang gitar milik Ipung Soerjodinoto berpesan sebuah fokus. Itulah seni fotografi. Seni mengecilkan objek agar mata menelingkung pada senar dan ujung gitar. Kepercayaan seseorang bertumbuh dan berkembang seiring dengan pengelolaan hal-hal yang kecil lebih dulu dan untuk kepentingan rakyat kecil. Ketika konsep ini dibalik menjadi Goliath daripada si kecil Daud maka yang terjadi kapitalisme dan gap sosial yang membengkak. Dari seni foto, memperlihatkan secara mikro sungguh indah dinikmati.
[caption id="attachment_194644" align="aligncenter" width="300" caption="Dok. Foto oleh Ajie Nugroho"]
[/caption]
Ajie Nugroho tak mau kalah dalam foto adalah karya seni atau foto adalah seni. Mengecilkan jendela (komposisi) di bidang datar yang luas bukan soal kemungilan arti tetapi kelugasan makna dan arti hidup sebagai jendela bagi orang lain. Memojokkan jendela bahkan memotongnya bukan tanpa alasan. Rupanya seorang “kurator seni” (sebutan yang saya sukai buat Ajie) melihat dan mengerjakan hal-hal yang kecil akan berbuah pada sesuatu yang besar dan menyeluruh.
[caption id="attachment_194646" align="aligncenter" width="300" caption="Dok. Foto oleh Baskoro Endrawan"]
[/caption]
Langit biru menciptakan lingkaran siluet tersambung ketika objek terdekatnya gelap dan pencahayaan latar belakang mendominasi. Ini mengingatkan sebuah wayang kulit yang dimainkan apik oleh para dalang. Blu-print sudah ada, tinggal memperjelas siluet itu menjadi nyata dalam keseharian. Menangkap dan menjaring makna foto ini sama dengan pergulatan sikap antara menjadi bayangan hitam atau putih bagi orang lain. Itulah pengertian arti fotonya Baskoro Endrawan.
[caption id="attachment_194647" align="aligncenter" width="300" caption="Dok Foto oleh Yswitopr"]
[/caption]
Kepada siapa narasi ini saya sampaikan? Sama halnya dengan foto terakhir, adegan monolog BW yang menunjuk pada apa dan siapa agar narasinnya mengalir sampai tujuan. Meski hitam putih fotonya, tetapi adegan monolog seorang di atas panggung dengan gerakan tangannya menunjuk (entah kepada siap) menjadi berkarakter, tak hanya dari sisi foto tetapi bahwa faithing itu berdemensi pada mutu relasi antara saya dan anda. Subjek dan objek menjadi bermutu ketika relasi itu saling bermanfaat, berkehendak baik, berbudaya yang berdaya guna. Mo Yswitopr, pasti tak keberatan kalau fotonya saya apresiasi seperti itu.
Itulah faithing pada jurnalime warga seklaigus pewarta foto. Jadilah agen perubahan sosial dalam masyarakat, negara dan bangsa, karena saya dan anda memiliki faithing atau kepercayaan eksitensial yang sebaiknya disalurkan semestinya karena di situlah hak dan kewajiban setiap jurnalis warga.
Kalau suka ikut WPC 13, klik di sini ya. Terima kasih saya sampaikan kepada teman-teman yang memiliki foto-foto di atas. Anda telah siap menjadi pewarta foto yang faithing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H