Lihat ke Halaman Asli

Tri Lokon

TERVERIFIKASI

Karyawan Swasta

Nekat Jual Bensin Eceran, Kena Denda 50 M plus 5 Tahun Penjara

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13330469811262841630

[caption id="attachment_179127" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (Kontan)"][/caption]

Galau, barangkali itulah kesimpulan tepat dari sebuah efek domino kenaikan Harga BBM per 1 April nanti. Karena semakin orang galau semakin banyak yang menentang kenaikan harga itu. Meski sebenarnya tak mudah mencegah keputusan bulat pemerintah terkait kenaikan 30% harga BBM. Rasanya tak ada ruang untuk mengajukan alasan-alasan agar kenaikan itu ditunda. “Kenaikan harga BBM adalah pilihan terbaik dan merupakan solusi tepat untuk negara kita, “ kata salah satu anggota DPRD menanggapi maraknya demo.

Gambaran tentang kegalauan itu, sempat saya rekam beberapa hari ini dari obrolan masyarakat di sekitar saya. “Harga Cabai, Beras, Gula Pasir, Minyak Goreng di pasar tradisional sudah naik. Rata-rata naik antara 1000 hingga 1500 rupiah. Bahkan ada yang lebih.” ungkap teman kantor saat istirahat makan siang.

“Tak hanya itu. Pangkas rambut saja sekarang sudah Rp. 15.000,- per kepala. Padahal saya kalau cukur selalu model 1 cm alias gundul. Hanya dalam waktu lima menit, bayar segitu.” ujar teman saya yang rambutnya masih kelihatan habis dicukur.

“Tadi saya baca di koran, tarif angkutan umum dipastikan naik. Naik mikrolet dalam kota minimal bayar Rp. 2000,- Dulu rata-rata bayar Rp. 1.500,- Kalau semua kebutuhan pokok naik, bagaimana ya. Padahal gaji tidak naik.” sambung teman saya yang lain.

Cerita tentang uang dan penggunaan uang sesuai dengan kebutuhan pokok untuk bisa bertahan hidup, dalam situasi saat ini, memang sangat sensitif. Tak habis-habisnya menjadi buah bibir di tengah masyarakat. Kegalauan mereka adalah ketidak seimbangan antara pendapatan dan pengeluaran yang makin lebar gapnya. Upaya untuk menambah penghasilan pun tak selalu berbuah manis.

Demo kemarin (27/3) bukan hanya mahasiswa saja. Tetapi Asosiasi Usaha Kecil Pengecer BBM di Manado, ikut dalam aksi demo menentang kenaikan BBM. Mereka melancarkan aski unjuk rasanya di depan Gedung Sekretariat DPRD. Lho, mengapa mereka demo? Padahal kalau harga BBM naik mereka banyak untung., batin saya. Rupanya ada sebab lain yang membuat mereka turun ke jalan.

Keputusan naiknya harga BBM per 1 April sebesar Rp. 1.500,- dari harga sekarang, dengan segala resiko termasuk didemo besar-besaran secara nasional seperti yang terjadi pada kenaikan BBM yang dulu, sejak dini telah diantisipasi (dikawal) oleh aparat pemerintah dan keamanan seluruh Indonesia. Artinya, mau tidak mau harus menerima keputusan itu.

Demikian juga bagi pengecer BBM di pinggir jalan. Tercatat ada 80 titik pengecer BBM di kota Tomohon dan ada 2 SPBU. Para pengecer ini sudah diberi surat peringatan agar menghentikan usaha penjualan BBM eceran. Tak hanya itu, pengecer yang nekat akan diberi sanksi secara hukum dan dapat dikenai denda hingga 50 M (milyard) rupiah serta penjara minimal 5 tahun.

Tindakan represif aparat keamanan ini tergambar pada dijaganya dua SPBU dari pagi hingga malam. Penjagaan polisi di SPBU untuk memastikan tidak ada warga yang bolak-balik isi bensin dan tidak ada SPBU yang memasang papan “Habis Bensin/Solar” seperti yang terjadi sebelum isu kenaikan BBM mencuat akhir-akhir ini. “Sekarang isi bensin lancar dan tidak antri panjang”, tukas teman saya yang baru saja isi bensin di SPBU.

Aparat Keamanan, seperti yang dikatakan Kapolres, memiliki dasar hukum yang kuat untuk menangkap para pemain pengecer BBM di pinggir jalan. “Pengangkut, penimbun, penyimpan, penjual BBM eceran, tanpa izin tertulis dari kepolisian bisa disangkakan pada usaha penimbunan BBM. Itu jelas ilegal dan melanggar hukum” tegas Kapolres di hadapan media sambil memberikan dasar hukum tindakannya itu. Disebutkan bahwa penimbunan BBM melanggar UU No.8 tahun 1981 tentang KUHP, UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU No.2 tahun 2001 tentang minyak dan gas, dan Perda Sulut No. 16 tentang pengawasan penimbunan BBM.

Karena disangka ikut ambil bagian dalam penimbunan BBM yang ilegal dan ditambah sangksi 50M serta kurungan 5 tahun, sejumlah pengecer BBM ikut demo bersamaan dengan demo para mahasiswa. “Jika harga BBM tidak jadi naik, kami masih bisa mengupayakan usaha kecil kami dalam bentuk jualan bensin eceran sebagai tambahan penghasilan keluarga. Buktinya, selama ini kami tidak pernah mendapat peringatan. Hanya gara-gara mau naik harga BBM, kami ikut kena sasaran.”, ungkap salah seorang pengecer BBM yang untung rata-rata Rp. 2.000,- per liter botol.

Tulisan ini merupakan obrolan hangat di tengah maraknya demo kenaikan harga BBM akhir-akhir ini. Namun, esensi yang dapat saya tangkap dari obrolan itu adalah bahwa di satu pihak keputusan atau kebijakan pemerintah tidak populis, merakyat. Di lain pihak, efek domino dari kenaikan harga BBM kini menghantui masyarakat terutama harga barang kebutuhan pokok hidup mulai merangkak naik. Ketidakberdayaan masyarakat untuk mencukupi kebutuhan pokok sebagai syarat utama untuk mempertahankan hidup, menjadi miris jika di kemudian hari, menambah naiknya angka kemiskinan di negara ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline