Saya penasaran dengan apa yang dimaksud dengan kata adiktif. Lalu saya cari arti itu di google. Hasil pencarian itu rata-rata mendefiniskan seperti ini. Zat adiktif adalah obat serta bahan-bahan aktif yang apabila dikonsumsi oleh organisme hidup dapat menyebabkan kerja biologi serta menimbulkan ketergantungan atau adiksi yang sulit dihentikan dan berefek ingin menggunakannya secara terus-menerus yang jika dihentikan dapat memberi efek lelah luar biasa atau rasa sakit luar biasa.
Tulisan saya ini tidak membicarakan masalah narkoba atau zat-zat psikotoprika yang sangat dilarang itu. Tetapi, lebih fokus pada sofware yang diberi nama "game" yang ternyata mengandung unsur "adiktif" yang tidak kalah bahayanya bagi masa depan generasi muda.
Suatu hari kami menerima murid baru. Murid ini pindahan dari sekolah di kota yang sangat maju. Setelah diproses kami menerima baik di sekolah maupun asrama. Maklum, kami menggunakan sistem boarding school atau sekolah berasrama. Pendek kata, Ryan, nama murid baru itu, kami terima. Awalnya adaptasi dengan teman-teman sekolanya berjalan dengan lancar. Ryan mengikuti aturan dan tata tertib yang ada baik di sekolah maupun asrama.
Masalah mulai muncul ketika studi mandiri, Ryan lebih suka duduk di meja belajar dengan menyalakan laptop. Aturannya di saat studi, laptop tidak boleh dipakai nge-game kecuali membuat tugas rumah dari sekolah. Ternyata, Ryan dalam kesendiriannya menggunakan laptop untuk main game. Tak heran, kalau pembina menegurnya. Rupanya, teguran itu tidak mengena. Hampir di saat waktu luang bahkan istirahat ia selalu duduk dan menyalakan laptop untuk game. Pernah ditanya, kenapa Ryan tidak ikut olahraga. Jawabannya, lagi tidak enak badan. Pendek kata, Ryan, si murid baru ini, ketahuan maniak game. Ia seorang gamer kelas berat sehingga tata tertib di asrama ia langgar hanya untuk mencari dan memenuhi kepuasaan main game. Lebih mengkuatirkan bagi kami adalah kebiasaannya pergi ke warnet untuk nge-game dan terlambat pulang masuk asrama.
Suatu ketika, Ryan, si murid baru ini tidak ada di asrama. Kami semua cemas, karena tidak ada berita tentang dia. Lalu, teman-temannya ditanya. Ada salah satu temannya mengatakan pernah melihat Ryan di Warnet dua hari yang lalu di kota yang jaraknya hampir satu jam. Atas informasi itu, lalu kami cari. Hampir seharian kami cari Ryan di semua Warnet di kota itu. Kami juga bertanya kepada petugas warnet dan mendapat informasi bahwa Ryan punya teman baru sesama pengguna warnet. Akhirnya kami menemukan ia berada di kost teman barunya itu. Dari penuturan teman kost itu, diperoleh informasi bahwa Ryan sudah kehabisan uang bahkan masih hutang di warnet. Badannya lemas karena selama ini sedikit makan bahkan ia nge-game sampai larut malam hingga warnet ditutup. Ia sempat tidur di warnet itu, kata teman kostnya itu. Kebiasaan merokoknya membuat badannya makin lemas tanpa diimbangi dengan makan teratur.
Itulah kasus yang kami hadapi. Sejak peristiwa itu, para pembina lebih ketat mengawasi anak didik dalam main game. Sekarang ini yang disukai adalah game on line dan game pakai wireless antar laptop. Mereka berkompetisi dengan nge-game bersama saling tersambung antar laptop dengan menggunakan wireless. Kalau sudah nge-game model ini, para gamer bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Karena itu, harus ada yang berani menghentikan aktifitas mereka supaya nantinya tidak terbentuk sebuah perilaku maniak nge-game.
Belajar dari kasus Ryan tadi. Kami pernah berdiskusi dengan seorang dokter bahwa perilaku nge-game yang sudah berat tadi itu bisa dimasukkan dalam perilaku adiktif. Maksudnya perilaku nge-game itu mirip seperti zat adiktif. Dikatakan adiktif "apabila dikonsumsi oleh organisme hidup dapat menyebabkan kerja biologi serta menimbulkan ketergantungan atau adiksi yang sulit dihentikan dan berefek ingin menggunakannya secara terus-menerus yang jika dihentikan dapat memberi efek lelah luar biasa atau rasa sakit luar biasa." . Oleh karena itu, diusulkan agar pemerintah memasukkan game dalam definisi zat adiktif yang dilarang pemerintah. Mungkin untuk sementara dimasukan dalam kategori "diwaspadai". Ketika saya sampaikan ke orang tua siswa, rata-rata setuju dengan pendapat saya tadi.
Ryan akhirnya dijemput orang tua pulang ke rumah. Sebelum dia sendiri minta sekolah, oleh orangtuanya tidak akan dipindahkan ke sekolah lain. Ini untuk membangun komitmen pendidikan dalam diri si anak. Demikian yang dikatakan oleh orang tua Ryan melalui hp saya.
Pendapat saya soal nge-game itu adiktif mungkin masih bisa diperdebatkan ketika nge-gamenya masih tingkat pemula. Saya juga pernah membaca postingan kompasioner tentang nilai positif game bagi pelajar karena katanya bisa mencerdaskan gamer dan mengembangkan perkembangan pribadinya. Meski masih bisa diskusikan lebih lanjut, sebagai pemerhati pendidikan, saya mengingatkan kepada orang tua siswa untuk memperhatikan perilaku nge-game pada anaknya. Saya berharap jangan ada yang korban seperti Ryan lagi.
Mari kita tingkatkan kualitas pendidikan di Indonesia dengan mewaspadai perilaku nge-game adiktif di kalangan pelajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H