Oleh: Julianda BM
Nasi putih, makanan pokok yang menemani setiap hidangan di Indonesia, kini seakan menjelma menjadi barang mewah.
Harganya yang terus meroket membuat banyak keluarga menelan ludah pahit.
Di tengah hiruk pikuk kehidupan, bayang-bayang krisis beras menghantui, memicu kekhawatiran dan keraguan akan masa depan pangan bangsa.
Data Badan Pangan Dunia (FAO) menunjukkan bahwa harga beras global telah mencapai level tertinggi sejak tahun 2008.
Di Indonesia sendiri, harga beras medium di berbagai daerah telah menembus Rp 10.000 per kilogram, jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
Berbagai faktor menjadi penyebab krisis beras ini, mulai dari perubahan iklim yang mengganggu produksi padi, hingga fluktuasi nilai tukar rupiah dan gejolak geopolitik global.
Namun, di balik kompleksitasnya, akar permasalahan ini terletak pada kurangnya keseriusan pemerintah dalam menangani masalah pangan.
Sejak lama, sektor pertanian di Indonesia terabaikan. Kurangnya investasi, infrastruktur yang tidak memadai, dan akses yang terbatas terhadap teknologi modern membuat petani terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan ketidakefisienan.
Pemerintah memang telah meluncurkan berbagai program untuk meningkatkan produksi padi, seperti program Upaya Khusus Padi, Jagung dan Kedelai (Upsus Pajale) dan program Kartu Tani.