Oleh: Julianda BM
Lonceng perayaan pernikahan seolah bergema semakin kencang di telinga. Undangan demi undangan berdatangan, memamerkan gaun putih dan jas rapih yang menjanjikan kebahagiaan.
Di tengah kemeriahan itu, pertanyaan "kapan nikah?" kerap melayang bagai hantu yang mengganggu. Bagi sebagian orang, pertanyaan ini mungkin dijawab dengan senyum dan tanggal pasti.
Namun, bagi sebagian lainnya, yang memilih jalan "waithood", pertanyaan itu bisa terasa bagai panah tajam yang menusuk rasa percaya diri dan pilihan hidup.
Waithood, istilah yang merujuk pada penundaan pernikahan, bukanlah fenomena baru. Tren ini semakin merebak, terutama di kalangan generasi muda yang memiliki prioritas berbeda dibandingkan generasi sebelumnya.
Bukan berarti mereka menolak cinta atau kebahagiaan. Sebaliknya, mereka justru berupaya merengkuh cinta dan kebahagiaan dengan cara yang lebih matang dan sesuai dengan nilai-nilai pribadi mereka.
Ada banyak alasan mengapa seseorang memilih waithood. Keinginan untuk mengejar pendidikan dan karier yang cemerlang menjadi faktor utama.
Generasi saat ini memiliki akses pendidikan yang lebih luas, membuka peluang untuk meraih impian yang mungkin tak terjangkau oleh generasi sebelumnya.
Selain itu, ketidakstabilan ekonomi dan tingginya biaya hidup juga membuat mereka berpikir realistis tentang kesiapan membangun rumah tangga.
Bagi sebagian orang, pernikahan bukan hanya tentang cinta, tetapi juga tentang tanggung jawab finansial yang matang.