Lihat ke Halaman Asli

Julianda BM

ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Ketika Sang Penjaga Demokrasi Tergelincir: Sebuah Refleksi atas Pelanggaran Kode Etik Ketua KPU

Diperbarui: 5 Februari 2024   13:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. Foto: (KOMPAS.com/ADHYASTA DIRGANTARA)

Oleh: Julianda BM 

Kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu merupakan pilar fundamental dalam demokrasi. Di Indonesia, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengemban amanah mulia sebagai penjaga demokrasi, memastikan pesta demokrasi berlangsung jujur dan adil. 

Namun, bagaikan sebuah drama, publik dikejutkan dengan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang menyatakan Ketua KPU, Hasyim Asy'ari, melanggar kode etik.

Kasus ini bermula dari manuver politik Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, yang mendaftarkan diri sebagai calon wakil presiden (cawapres) di Pilpres 2024. KPU meloloskan pencalonan Gibran, meskipun Gibran belum mundur dari jabatannya sebagai Walikota Solo, sebuah langkah yang dianggap menabrak aturan dan memicu polemik.

DKPP, lembaga yang bertugas mengawasi etik penyelenggara pemilu, menerima aduan dan menggelar sidang. Dalam putusannya, DKPP menyatakan Hasyim Asy'ari terbukti melanggar kode etik karena tidak teliti dan cermat dalam memeriksa berkas pencalonan Gibran. DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Hasyim.

Putusan DKPP ini bagaikan bom yang menggemparkan jagat demokrasi. Publik bertanya-tanya, bagaimana mungkin sang penjaga demokrasi tergelincir dalam pusaran kepentingan politik? Kepercayaan publik terhadap KPU pun tercoreng.

Kasus ini membuka kotak pandora tentang potensi kerentanan KPU terhadap intervensi politik. Muncul kekhawatiran bahwa KPU tidak lagi independen dan tunduk pada tekanan politik tertentu. Hal ini tentu saja membahayakan demokrasi dan menggerus kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilu.

Di sisi lain, putusan DKPP juga menjadi bukti bahwa demokrasi Indonesia masih memiliki mekanisme kontrol yang berfungsi. DKPP menunjukkan keberaniannya dalam menegakkan kode etik dan mengingatkan KPU untuk kembali ke jalurnya.

Kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi KPU dan seluruh penyelenggara pemilu. Integritas dan independensi adalah harga mati yang tidak bisa ditawar. KPU harus berbenah diri, memperkuat internal dan memastikan tidak ada lagi celah bagi kepentingan politik untuk mengintervensi.

Masyarakat pun harus terus mengawasi dan kritis terhadap kinerja KPU. Demokrasi hanya bisa berjalan dengan baik jika semua pihak, penyelenggara pemilu dan masyarakat, bahu-membahu menjaga dan merawatnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline