Oleh: Julianda BM
Di bawah langit yang sama, di negeri yang berbeda, nasib Pekerja Migran Indonesia (PMI) bagaikan perahu tanpa nahkoda. Di satu sisi, mereka adalah pahlawan devisa yang menyumbangkan triliunan rupiah bagi negara. Di sisi lain, mereka sering kali terjerat eksploitasi, penganiayaan, dan ketidakadilan di negeri orang.
Debat pamungkas capres 2024 membawa isu PMI ke permukaan. Janji-janji manis dilontarkan, mulai dari peningkatan gaji, pelatihan pra-penempatan, hingga jaminan perlindungan hukum.
Namun, di balik janji-janji tersebut, masih banyak pertanyaan yang menggantung. Apakah janji-janji ini akan terealisasi? Ataukah hanya sebatas retorika politik untuk meraih simpati?
Perlindungan yang Masih Jauh dari Ideal
Faktanya, kondisi PMI saat ini masih jauh dari ideal. Kasus-kasus penipuan, kekerasan fisik dan seksual, serta gaji yang tidak dibayarkan masih kerap terjadi. Akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan bagi PMI dan anak-anak mereka juga masih terbatas.
Pemerintah memang telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk melindungi PMI, seperti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan pembentukan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI). Namun, implementasi kebijakan tersebut masih belum optimal.
Tantangan yang Dihadapi PMI
Para PMI menghadapi berbagai tantangan di negeri orang, di antaranya:
Pertama, proses penempatan yang tidak transparan dan berbelit-belit. Banyak PMI yang terjebak calo dan agen ilegal yang menjanjikan pekerjaan dengan gaji tinggi, tetapi kenyataannya mereka harus bekerja di bawah kondisi yang tidak layak.
Kedua, eksploitasi oleh majikan. Jam kerja yang panjang, gaji yang tidak dibayarkan, dan penganiayaan fisik dan seksual adalah contoh bentuk eksploitasi yang sering dialami PMI.