Oleh: Julianda BM
Stunting, bagaikan monster tak kasat mata yang menggerogoti masa depan bangsa. Pertumbuhan anak terhambat, terbelenggu dalam lingkaran kemiskinan dan kesehatan yang rapuh. Ironisnya, di balik tembok statistik, tersembunyi mozaik budaya yang kompleks, turut mewarnai peta stunting di Indonesia.
Di pelosok Nusa Tenggara Timur, tradisi "Pati Pati" memacu ibu hamil mengonsumsi makanan berpati tinggi, namun minim protein dan zat besi. Di Jawa Barat, mitos "Ngeuyeuk" melarang ibu hamil makan telur, sumber protein esensial untuk janin. Budaya patriarki di beberapa daerah, menempatkan perempuan pada posisi subordinat, aksesnya terhadap informasi dan gizi pun terhambat.
Mampukah budaya diubah? Jawabannya, bukan diubah, tetapi dijembatani. Tradisi bukan untuk dihilangkan, melainkan dipadukan dengan pengetahuan baru. Kita perlu merajut tradisi baru, yang menjembatani kearifan lokal dengan intervensi ilmiah untuk memerangi stunting.
Membangun Jembatan Pengetahuan
Pertama, edukasi yang adaptif. Sosok pemuka adat, bidan desa, dan kader PKK, menjadi jembatan penting. Gunakan bahasa lokal, budaya, dan tradisi sebagai alat penyampaian pesan. Buatlah poster edukasi bernuansa budaya, adakan pertunjukan seni yang sarat pesan gizi, dan libatkan tokoh adat dalam kampanye stunting.
Kedua, diversifikasi pangan lokal. Manfaatkan kekayaan alam dan tradisi kuliner setempat. Kembangkan varietas tanaman bergizi tinggi, seperti padi gizi dan sorgum, yang mudah diolah dan sesuai dengan selera lokal. Dorong pemanfaatan "pekarangan pangan lestari" untuk akses gizi yang mudah dan murah.
Ketiga, posyandu berbudaya. Jadikan posyandu sebagai ruang edukasi dan interaksi yang menyenangkan. Gunakan permainan tradisional, lagu daerah, dan cerita rakyat untuk edukasi gizi. Libatkan komunitas dan tokoh adat dalam kegiatan posyandu, ciptakan suasana yang hangat dan akrab.
Merajut Generasi Sehat
Pemerintah, akademisi, dan masyarakat perlu bersinergi. Merajut program yang adaptif, mengakar pada budaya, dan berlandaskan sains. Bukan hanya intervensi fisik, tetapi juga transformasi mindset.
Masyarakat didorong untuk aktif, memantau tumbuh kembang anak, dan menerapkan pola hidup sehat. Generasi muda dilibatkan dalam edukasi gizi sebaya, menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kepedulian.
Pemerintah perlu memperkuat regulasi, mengalokasikan dana yang memadai, dan memastikan program terlaksana secara efektif. Akademisi berperan dalam penelitian dan pengembangan intervensi yang adaptif dan inovatif.