Oleh: Julianda BM
Bumi. Kata sederhana, namun membungkus makna luar biasa. Tempat berpijak, sumber kehidupan, rumah bagi milyaran cerita. Tapi bisakah kau mendengar bisikannya, Bumi kita sedang menangis?
Ya, menangis dalam desahan hutan yang terbakar, rintihan terumbu karang yang memutih, dan jeritan spesies yang lenyap ditelan keserakahan. Ada luka di tubuhnya, ada demam di atmosfernya, dan kita, penghuni utamanya, tak boleh lagi tuli terhadap jeritan ini.
Ingatkah saat kecil kita dipeluk hangat oleh tanah merah, berkejaran dengan riang di bawah pelukan langit biru? Bumi kala itu adalah taman bermain raksasa, sumber kelimpahan dan keajaiban.
Namun, dewasa ini, taman itu perlahan gersang, kelimpahan menipis, dan keajaiban terancam punah. Kita asyik mengejar impian di atas punggung Bumi, tanpa menyadari kita sedang mendaki gunung kejatuhan kita sendiri.
Umat manusia seringkali lupa diri. Kita terbius oleh mantra kemajuan, pembangunan, dan kemakmuran, tanpa sadar telah melampaui batas.
Egosentrisitas berbalut ambisi telah membutakan kita pada ketergantungan mutlak kepada ekosistem Bumi. Kita mengambil lebih dari yang bisa dikembalikan, merusak lebih dari yang bisa diperbaiki.
Kita lupa, Bumi bukanlah mesin tak berbatas, melainkan makhluk hidup yang kompleks dan rapuh.
Tapi tunggu, apakah ini akhir cerita? Apakah hanya ada nada duka dalam simfoni kehidupan di Bumi? Tidak! Di tengah kepiluan, ada nada lain yang mulai menguat: nada kesadaran.
Semakin banyak manusia yang tersadar dari mabuk pembangunan, menoleh kepada Bumi dengan tatapan penuh cinta dan keprihatinan. Mereka menyadari, bukan keserakahan dan eksploitasi, melainkan cinta dan tanggung jawablah yang akan menyelamatkan kita semua.