Di jantung Aceh, negeri bersyair dan bertafakur, berbisik kisah Syekh Hamzah Fansuri. Sosok misterius, penyair agung, ulama sufi yang jejaknya terukir tak hanya dalam tinta, tapi juga tanah dan sungai.
Nama Fansuri bagai perahu, membelah samudera sastra, mengantar cahaya tasawuf hingga pelosok Nusantara. Dan di Desa Oboh, Kota Subulussalam, tepat di tepi sungai Lae Souraya, makam Fansuri tak sekadar pusara, melainkan magnet wisata religi yang memikat penjelajah budaya dan spiritual.
Perjalanan ke makam Fansuri ibarat menyusuri bait-bait "Syair Perahu", karya termasyhur sang Syekh. Jalanan berkelok, dipeluk rimbun pepohonan, membawa kita menembus lorong waktu.
Desa Oboh menyambut dengan hembusan angin dan senyum penduduk ramah. Masjid kayu sederhana berdiri anggun, bercerita tentang peradaban Islam yang berakar kuat. Dan di ujung jalan, di balik gerbang batu bertulis naskah Arab, makam Fansuri menanti, sunyi dan khusyuk.
Kompleks makam ini sederhana, namun pesonanya terpancar kuat. Batu nisan Fansuri, terbuat dari batu granit hitam, berdiri tegak dan anggun.
Di sekelilingnya, makam keluarga dan ulama lain berbaris rapi, seolah mengiringi perjalanan spiritual sang guru. Pepohonan rindang berbisik, sungai Lae Souraya mengalir tanpa henti, alam turut berzikir, melantunkan puji pada Sang Pencipta.
Suasana hening menyelimuti. Para peziarah datang silih berganti, bersimpuh khusyuk, melantunkan doa, dan menaburkan bunga. Ada yang datang memohon berkat, ada yang mencari ketenangan, ada yang terseret oleh magnet "Syair Perahu" dan ingin lebih dekat dengan sang pencipta.