Lentera di Senja Kala
Oleh: Julianda BM
Senja mengaduk senyap, membenamkan desa dalam rona jingga keemasan. Di gubuk bambu sederhana, di ujung desa, tangan Sunarti yang renta mengelus lembut rambut Maya, puterinya. Mata Sunarti redup, tapi senyum tipis bermain di bibirnya yang telah memucat.
"Ibu," suara Maya lirih, hampir tertelan debar jantungnya sendiri. Sunarti membuka mata, teduh, penuh cinta yang tak lekang usia.
"Nak," sapanya, suaranya rapuh bagai daun kering. Maya menggenggam tangan Ibu, telapak tangannya dingin, denyut nadi tak lagi berlari kencang.
Sunarti selalu menjadi lentera bagi Maya. Sejak ditinggal Bapa sepuluh tahun silam, Ibulah yang menjadi matahari dan bulan, hujan dan pelangi. Ibu yang bertani, merajut benang, menenun mimpi-mimpi Maya. Dari tangan Ibu, Maya belajar arti kerja keras, ketangguhan, dan cinta yang tak bersyarat.
Kini, senja kehidupan Ibu kian dekat pada senja alam. Maya takut, takut kehilangan pelabuhan jiwanya, kehilangan detak jantung takdirnya.
"Ibu, tolong ceritakan lagi kisah bunga bakung itu," pinta Maya, mencoba mengusir bayang-bayang duka.
Sunarti tersenyum. Kisah bunga bakung adalah lagu pengantar tidur Maya sejak kecil. Kisah tentang bunga putih nan harum yang tumbuh dari air mata Bidadari, bunga yang melambangkan cinta abadi dan pengorbanan.
"Dulu, ada Bidadari cantik bernama Melati," mulai Sunarti, suaranya parau. "Dia jatuh cinta pada Putra Bumi yang gagah, tapi cinta mereka dilarang Dewi Langit. Melati menangis, air matanya jatuh ke bumi, dan tumbuhlah bunga bakung."